Senin, 23 Januari 2012

Chapter 9

CHAPTER 9

Frey menatap lelaki di hadapannya, mencoba memperbaiki raut muka dan posisi badannya agar tidak menyinggung lekaki bernama Poka tersebut.  Frey berpikir mungkin ini pasiennya namun gagal karena penjelasan orang tadi menandakan bahwa ini orang yang memang ditunjuk oleh kepala desa untuk membantunya.  Sengaja memang Frey meminta bantuan bapak kepala desa untuk menunjuk beberapa orang yang dianggap mampu membantu Frey mendata malaria.  Mereka biasanya menggunakan kata bapak desa dalam memanggil kepala desa yang mereka hormati.  Frey memberikan syarat yang mudah, hanya asal dapat membaca dan menulis itu sudah cukup dan ternyata tidak banyak yang dapat direkomendasikan oleh bapak desa.  Frey yang nanti akan melihat mereka dan menentukan kelayakannya.
Badannya tinggi untuk ukuran penduduk desa namun dari beberapa orang yang sudah ada di hadapan Frey, lelaki ini yang paling sedikit berbicara bahkan Frey tidak yakin lelaki ini mengerti apa yang dia jelaskan.  Wajahnya terlihat tolol dan sedikit pucat.  Entahlah, Frey merasa ada yang aneh dengan lelaki itu walaupun jujur Frey merasa berdosa telah menghakimi orang hanya dengan melihat wajahnya saja.  Toh bukan salah dia dianugerahi wajah yang terlihat seperti orang retardasi mental.  Frey mungkin berpikir untuk tidak merekrutnya sebagai karyawan jika tidak teringat perkataan bapak desa bahwa lelaki tadi dapat diandalkan. 
Kini kepala Frey sedikit berputar memutuskan siapa orang terakhir yang akan membantunya mendata malaria.  Sorot mata lelaki tadi masih mengusik Frey hingga akhirnya terdengar suara serak basah.
“Saya mengerti Ibu” hanya tiga kalimat itu yang diucapkan lelaki tadi namun mengandung berjuta makna bagi Frey.  Apa yang dimengerti oleh lelaki tadi, penjelasan Frey tentang tugas yang akan dilakukan mereka natinya atau mengerti jika Frey meragukan kemampuan lelaki tersebut.
“Mengerti apa Poka?” Frey memutuskan bertanya balik daripada otaknya dipenuhi spekulasi tidak karuan.
“Mengerti su dengan penjelasan kerja dari Ibu” kini giliran Frey yang memilih mendengarkan nasihat bapak desa dan lelaki itu pun menjadi karyawan terakhir yang Frey rekrut.
Sebelum lima belas penduduk lokal yang membantu Frey bekerja, terlebih dulu Frey memeriksa darah mereka.  Jangan sampai karyawannya ternyata malaria dan tidak diobati.  Hasilnya, hanya si Poka yang positif malaria falciparum.  Frey tersenyum, mungkin ini sebabnya wajah si Poka terlihat seperti orang bodoh lantaran parasit malaria di tubuhnya sudah lama tidak dihilangkan sampai membuat wajahnya berubah. 
Frey ingat ketika Poka dengan tergesa membawa istrinya ke klinik padahal hari masih siang.
“Kencing merah Ibu” begitu ucapnya.
“Sedang hamil kah?” Frey curiga ini bukan hanya sekadar kencing saja melainkan darah yang keluar dari tempat keluarnya bayi.  Sulit bagi orang awam karena memang terlihat sekilas seperti kencing darah.
“Dua bulan Ibu” jawab istrinya dan Frey segera membaringkan di tempat periksa.  Diambilnya sarung tangan steril dan perlahan membuka jalan lahir.  Ternyata memang masih terlihat tetesan darah namun belum terlihat tanda-tanda janin keluar.
“Mama, istrihat total di rumah dulu ya.  Mama hanya boleh berbaring saja dan tidak boleh turun dari tempat tidur.  Harus benar-benar istirahat” Frey menekankan kalimatnya karena kehamilan tersebut menurutnya masih dapat dipertahankan jika dilihat dari jumlah darah yang keluar masih sedikit.  Syaratnya hanya satu, istirahat total. 
Dua malam kemudian Poka kembali tergopoh-gopoh mendatangi Freya ketika dia sedang santai memetik gitarnya menghabiskan malam minggu.  Ketika di kota dulu Frey akan menghabiskan malam minggunya jalan bersama teman-teman atau sekadar nongkrong di cafĂ© jika sedang tidak bertugas jaga.  Tidak jarang juga Frey dan Arjuna bertukar jaga dengan dokter lain agar keduanya dapat menghabiskan malam minggu walau kenyataannya sulit mencari dokter pengganti di malam minggu. Semua ingin menikmati waktu bersama keluarganya.
Berbeda dengan saat di pedalaman di mana tidak ada hiburan dan listrik sehingga malam minggu nyaris tidak jauh berbeda dengan malam-malam lainnya. Frey dan tim peneliti lebih senang menghabiskan waktu malam kami dengan ngobrol di teras rumah sederhana sambil bermain gitar atau sekadar berbagi pengalaman hidup.  Muka Poka sudah terlihat penuh ketika senter kecilnya memancarkan cahaya.
"Gawat Ibu….ini bahaya"
"Yah, ada apa dengan istri bapak?" Frey sudah menduga ini pasti istrinya.  Satu hari setelah istirahat total ternyata Poka mengabarkan tidak ada lagi darah yang keluar.
"Istri saya gawat..bahaya dokter…." terbata-bata Poka mengucapkannya dan tanpa menunggu dia selesai bicara, Frey sudah melesat mengambil tas punggungnya.  Tensimeter digital, stetoskop, termometer, dan beberapa obat sederhana segera dimasukkan dan tanpa hitungan menit Frey sudah menyusuri jalanan gelap menembus dusun Meheng Mata bersama Poka.  Bersyukur lampu kepala yang tidak pernah lepas dari kepala Frey masih menyala dan berguna sebagai penerang jalan.  Dusun kecil ini paling dekat keberadaannya dari klinik Frey, hanya 10 menit berjalan kaki saja dan kali ini dipercepat menjadi kurang dari 5 menit.
Tidak butuh lama untuk sampai di rumah alang milik Poka.  Rumah alang dengan balai-balai tinggi itu membuat Frey harus menaikkan kaki dengan cara mengangkatnya tinggi-tinggi atau meloncat setelah mengambil ancang-ancang.  Suara anjing yang menyalak karena kedatangan orang asing segera nyaring terdengar.  Entahlah, Frey tidak ingin bermasalah dengan anjing-anjing karena dia tidak ingin mengulangi trauma masa kecilnya lantaran digigit anjing.  Frey memilih memasuki balai rumah ketika si anjing menjauh namun kenyataannya si anjing mengikuti arah langkah Frey sambil mendengus tajam. 
“Cia…” Frey malah disibukkan dengan adegan menjauhkan anjing dari kakinya.  Beruntung Poka tanggap dan mengusir sementara si anjing.   Frey memang masih menyimpan ketakutan terhadap anjing, takut digigit dan bila berlari maka takut dikejar anjing yang nantinya berakhir dengan gigitan juga.
“Di mana mama?” Frey menanyakan keberadaan istri Poka yang dibalas dengan ajakan memasuki rumah alang.
Ini pertama kalinya Frey memasuki rumah alang yang dilihatnya sehari-hari.  Dirinya memang masih belum seumur jagung berada di tempat ini sehingga hanya berkeliling desa saja tanpa benar-benar pernah masuk ke rumah alang seperti mala mini.  Dari depan, rumah alang mereka terlihat kecil karena terdiri dari rumah bambu yang dibuat bertingkat dengan atap dari ilalang.  Namun ketika Frey masuk ke dalamnya, barulah terasa rumah alang ini cukup besar.  Frey harus naik ke batu pijakan sebelum memasuki rumah tersebut karena ukurannya cukup tinggi sampai dengan lututnya. Namun bagi penduduk desa terkadang tidak perlu pijakan lagi karena hanya dengan melompat saja mereka sudah masuk dalam tangga rumah.  Semua terbuat dari bambu termasuk tangga awal yang Frey pijak.  Bila dibandingkan rumah adat, kita bisa sebut tangga ini pijakan menuju ke teras.  Sebelum masuk rumah, Frey dapat melihat balai-balai tempat para Inya beristirahat sepulang dari kebun.  Dari teras itu, Frey harus menaiki tangga yang lebih ekstrim lagi karena hanya berupa bambu satu ruas yang dipasang seperti anak tangga dan cuma satu karena hanya butuh satu pijakan untuk benar-benar masuk ke dalam rumah. Menginjaknya saja sudah membuat aroma rasa penasaran Frey muncul, "bagaimana sebenarnya isi rumah ini yang dari kemarin hanya saya lihat dari jauh saja".
Aroma bambu mulai menyerobot masuk hidung, bertabrakan dengan aroma jelaga sisa asap kayu bakar yang baru saja mereka matikan.  Ternyata mereka baru saja selesai memasak untuk makan malam.  Ruangan selebar 3x7 meter membentang di hadapan Frey.  Tidak  terlalu kecil ternyata tapi memang juga tidak besar seperti rumah normal.  Tidak ada perabot apapun di ruang pertama yang terbesar itu.  Namun bila membalikkan badan melihat kembali atap di balai-balai teras, maka terlihat jelas sisa tulang babi yang dipajang.  Boleh dibayangkan seperti Frey melihat babi besar dan satu kepalanya sudah berubah menjadi tulang belulang dan itu dipajang, tanpa ditutup apapun.  Jumlah kepala babi yang dipajang itu menunjukkan pemilik rumah telah menggelar pesta entah pesta kematian, pesta tarik batu, kubur batu, maupun pesta lain yang memang wajib melakukan ritual tikam babi.  Bila rumah yang dimasukinya sedikit mampu menggelar pesta sangat besar maka tanduk kerbaulah yang terlihat. 
Frey berdecak kagum membayangkan pajangan tulang tersebut mirip dengan koleksi foto di luar negeri, koleksi ratusan guci atau bahka piring antik bagi orang di kota besar.  Awalnya Frey merasa ragu untuk menginjakkan kaki dengan mantap di ruang tamu tersebut karena khawatir rumah alang yang hanya terbuat dari gabungan bambu yang diikat tali rotan ini tidak mampu menyangga beban tubuhnya.  Namun ternyata Frey salah, injakan mantap dan juga sedikit menggoyangkan badan dapat diterima rumah ini dengan aman.  Frey membelokkan badan ke kiri dan ada ruangan kecil seperti di sekat berukuran seperti tempat tidur.  Frey mencari di mana kasur atau tempat tidur mereka namun belum sempat menanyakan hal tersebut, mata Frey sudah menangkap alas anyaman tikar di samping tempat sekat tadi. Mereka benar-benar tidur hanya beralaskan tikar super tipis tersebut.  Padahal di sepanjang jalan banyak pohon kapas yang sudah berguguran kapas putihnya memenuhi rerumputan di bawahnya.  Mengapa mereka tidak mengambil kapas tersebut dan dijadikan tempat tidur atau sekadar bantal, pikir Frey dan terjawab kemudian karena sebagian dari mereka sudah tidak punya waktu lagi untuk membuat seperti itu. Mereka lebih memilih untuk tidur di alas tikar saja.
Frey tinggalkan tempat tidur sederhana itu untuk memasuki bagian kedua rumah yaitu dapur.  Jangan dibayangkan dapur mereka ada di luar rumah tingkat ini karena ternyata dapur mereka benar-benar ada di dalam rumah alas bambu.  Awalnya Frey tidak percaya karena akal sehatnya masih membayangkan rumah ini dapat saja terbakar setiap kali memasak.  Namun ketika makin mendekat dan menyentuh tunggu arang mereka yang hanya berupa dua buah batu bata disusun berhadapan, Frey mengerti.  Di rumah bambu itu mereka menambahkan dengan tanah setinggi sekitar 5 cm namun Frey tidak dapat melihat begitu jelas lantaran cahaya lampu kepalanya mulai memudar.  Setelah heran melihat tungku sederhana mereka, Frey kembali dikejutkan karena ada jala besi khusus satu meter di atas tungku berisi bongkahan daging kerbau yang mereka dapat dari pesta.  Daging itu masih teronggok untuk dikeringkan dan dibuat dendeng. Sengaja mereka membuat tempat meletakkan daging di atas tungku supaya dapat terkena asap tungku dan daging menjadi lebih awet.  Nafsu makan Frey hilang seketika membayangkan dirinya disuguhi daging seenak apa pun dari tungku tersebut. 
Di sebelah dapur ternyata masih ada satu ruang yang disekat dan dijadikan kamar.  Di kamar itulah terbaring istri Poka yang terus-terusan memegangi perutnya.  Frey segera menanyakan apakah ada terasa keluar darah lagi dalam sehari ini dan dijawab dengan gelengan kepala.  Frey mengeluarkan peralatannya untuk memeriksa tekanan darah dan juga suhu badan istri Poka.  Ternyata setelah dia tidak lagi mengeluarkan darah, dia kembali ke kebun untuk bekerja. Setelahnya, dia pulang dan melanjutkan tugasnya membuat kain tenun.  Frey gemas karena di tempat ini wanita bekerja lebih keras dibandingkan lelaki yang hanya duduk di rumah saja.  Bahkan dalam keadaan hamil sekali pun.  Pembagian makanan pun suami sebagai kepala rumah tangga harus mendapatkan jatah paling besar karena tugasnya yang berat dan status sosilanya yang tinggi sementara anak-anak dan ibu hamil yang membutuhkan gizi harus menunggu giliran makan ala kadarnya dulu.
Frey mengeluarkan sarung tangan sterilnya dan dengan berbekal lampu memeriksa jalan lahir istri Poka.  Darah mulai terlihat menetes pertanda mulai terjadi lagi pembukaan rahim.  Frey pun segera memberikan obat penghilang rasa sakit.
“Segera kita bawa ke puskesmas bapak.  Disana ada alat untuk kuret.  Sepertinya kehamilan mama sudah tidak dapat dipertahankan lagi karena terlalu banyak bekerja” dan tidak lama mereka sudah berada di motor.  Dua motor di klinik Frey digunakan seluruhnya, Frey bersama perawat dan istri Poka bersama kakaknya. 
“Eh kenapa tidak ikut sudah Bapak” Frey bingung karena harusnya Poka yang berada di belakang menemani istrinya, menjaganya agar tidak jatuh. 
“Eh biar sudah dia.  Kan dia kakaknya”
“Lah…kan bapak suaminya” kali ini Frey tidak habis pikir mengapa obat malaria yang diminum si Poka masih tetap membuatnya bodoh malam ini.  Frey pun segera menjalankan motornya agar tidak membuang waktu.  Dia sudah menghubungi rekanan dokternya yang berada di puskesmas dengan peralatan lebih lengkap dan juga sudah tersentuh listrik. 
Mengantarkan pasien menembus malam ternyata dapat juga dinikmati sebagai hiburan di malam minggu.  Langit malam tampak cerah dan ribuan bintang menghiasinya.  Rasanya Frey menembus hutan dengan pemandangan langit luar biasa di waktu malam.  Pikiran Frey melayang bagaimana cara menghitung bintang sebanyak itu di langit atau malah menemukan bintang baru di antara ribuan bintang.  Hingga bintang jatuh muncul ketika wajahnya sedang menengadah ke langit.  Reza…seketika itu banyangan Reza muncul di kepala Frey.  Bahkan ketika dirinya memilih untuk melupakan semua kenangan bersama Reza, bayangan itu terus mengikutinya.  Kenapa Reza yang muncul di kala bintang jatuh dan bukan Arjuna yang mendamaikan tempatnya di pedalaman kini.
Ngenggg…….suara motor membuat Frey terkejut, bintang jatuh sudah berlalu dan kini tampak si Poka menyusul istrinya bersama motor lain.  Bahkan tidak dengan tangan kosong, satu buntelan dalam plastik hitam berada di tangannya.  Bagaikan pahlawan, si Poka meluncur berada di samping motor istrinya.  Frey nyaris tidak dapat menyembunyikan tawanya.  Cara mengungkapkan rasa sayang ternyata bermacam-macam dan Frey berharap bungkusan di tangan si Poka tidak salah isinya. 
“Pak Poka….kenapa malah bawa baju bapak” dan teriakan itu membuat si Poka bermuka bodoh lagi.  Sepertinya memang bukan efek malaria, mungkin memang begitu sudah cara Poka membuat kami tertawa.
*** 

1 komentar:

  1. kalau frey itu lo..apa seakrang suara emang udahbagus ya vis.gw mau bukti dong hahahahhahahahha...love this part...keren keren

    BalasHapus