Senin, 09 Januari 2012

Chapter 6

Chapter 6

Frey masih jetlag ketika pertama kali mendaratkan kakinya di bandara Tambolaka Sumba Barat Daya.  Sangat amat berbeda jauh dengan bandara besar atau bandara sekelas Bali, Solo maupun Yogyakarta.  Mulut Frey hampir terbuka sempurna ketika pesawat kecil telah mendarat dan dia harus berjalan di tengah teriknya Sumba menuju ruang tunggu yang hanya berukuran 5x5 meter, tanpa loket bagasi seperti bandara pada umumnya dan pastinya tanpa kenyamanan.  Hanya beberapa kursi panjang tempat Frey dapat sekadar menjatuhkan pantat kami sejenak.  Bagasi Frey masih belum datang dan dia pun harus menarik napas lagi karena bagasi ternyata diletakkan dalam kereta penarik bagasi yang fungsinya sama seperti kereta pemindah bagasi ke pesawat.  Penumpang memang wajib mengambil sendiri bagasinya, tanpa troli dan dengan melewati sedikit jalan yang tidak rata. Sangat tidak nyaman karena porter pengangkut barang pun tidak ada.  Luar biasa, ini melebih Eropa untuk self service nya.  Bagi yang membawa barang super banyak pun harus rela menahan emosi sekaligus melatih kesabaran.  Sama seperti Frey yang terpaksa menarik satu koper dengan menjinjing satu tas sementara di punggung sudah menempel satu tas punggung dan di depan sudah menghias gitar kesayangannya.   Sempurna, gaya yang sangat sempurna untuk orang yang kelelahan membawa semua barangnya sendiri.  Bagaimana repotnya membawa keluar barang ini dari bandara super minim faslitas ini? tidak perlu ditanya yang pasti membuat Frey frustasi.  Minta tolong orang lain pun mereka sama sulitnya dengan Frey.  Jarang terlihat wajah tersenyum saat membawa barang beraneka rupa itu.  Meminta tolong para penjemput kita pun tak boleh karena daerah di dalam bandara tidak boleh dimasuki orang lain padahal jelas sekali dari dalam ruang tunggu kita dapat melihat para penjemput kita bergerombol di pintu kayu dengan sedikit kaca putih.

Untungnya saja tidak butuh lama hingga berjam-jam walau bila sedang sial boleh jadi barang anda boleh jadi tidak terbawa dalam bagasi.  Tidak perlu kaget atau marah-marah karena memang beban muatan pesawat kecil ini terkadang tidak dapat membawa semua barang dari bandara transit Bali dengan sempurna.  Cukup bersantai saja dan tetap simpan nomer bagasi barang karena barang itu akan datang dengan pesawat berikutnya, yang sudah tentu di hari lain tergantung ada atau tidaknya penerbangan.Arggg…..Frey berusaha tetap senyum.  Terbayang pasti Arjuna akan tertawa hingga berguling di tanah bila mendengar kisahnya dengan gitar tua kesayangannya.  Ah, Frey malah tersenyum sendiri membayangkan bebannya membawa ini semua akan berkurang jika Arjuna menemaninya hingga di sini.

Tatapan Frey atas kota yang baru pertama kali dilihatnya ini pun masih nanar.  Jika ini yang disebut kota maka Frey tidak dapat membayangkan betapa lebih merananya pedalaman yang nantinya disebut desa.  Segera dinyalakannya telepon genggam dan benar saja hanya satu operator yang dapat menjangkau pelosok ini.  Itupun dengan sinyal setengah mati.

“Jun…” Frey langsung menekan nomer sahabatnya itu namun segera dimatikan ketika yang terdengar suara asing berbahasa asing.  Jelas saja suara itu bukan bahasa beda negara namun terasa seperti dialek orang-orang yang sekarang lalu lalang di sekitarnya.

“Kok salah sambung begini” Frey mendengus kesal

“Sudah biasa ibu dokter.  Selamat datang di Sumba.  Jangan kaget kalau ibu tekan nomer suami dan ternyata yang angkat wanita.  Gangguan sinyal bikin banyak tabrakan di udara sana” terdengar suara lelaki setengah baya yang mengemudikan mobil.

Ah, rasanya terlalu banyak yang ingin dia katakan namun terbungkam oleh lelah.  Beruntung dia masih berada di kota dan berharap kasur yang embuk pun akan mengembalikan kesadarannya.   Hari pertama kedatangan tim penelitian memang diberikan kelonggaran mengembalikan stamina. 

Kesokan harinya, barulah pemandangan lebih unik dijalani oleh Frey bersama timnya.  Beberapa di antara tim ada yang sudah sering bolak balik ke pelosok ini namun beberapa masih baru seperti Frey.  Mobil meluncur menuju desa tempat Frey akan bertugas nantinya.  Selama 15 menit pertama Frey masih disuguhkan pemandangan kota dengan rumah yang berdekatan dan beberapa di antaranya sudah berdindingdinkan batu bata.   Semakin menjauhi kota, Frey disadarkan dengan jalanan yang makin lenggang disertai kanan kiri variasi antara jurang dan hutan kayu.

Frey melihat kaki kecil itu berlarian menuju sekolah dengan halaman luas tanpa alas yang layak seperti sepatu anak-anak sekolahan di Jakarta.  Beruntung baju mereka masih terlihat putih mulus, Frey bepikir mungkin karena ini tahun ajaran baru untuk anak kelas satu sehingga beberapa baju sekolah masih terlihat putih.  Berbeda dengan beberapa sekolah yang masih dekat dengan kota, semakin menjauhi kota, anak-anak itu berlarian hanya dengan satu buku tulis di tangan. Tampak riang sekali mereka menikmati hadirnya ilmu walau tas seharusnya lebih layak untuk mereka gunakan. Om Modo, supir sekaligus penduduk asli Sumba menjelaskan kepada Frey bahwa anak-anak itu harus berjalan dulu minimal setengah jam tuk sampai di sekolahan terdekat.  Tenggorakan Frey tercekat, rasanya cerita ini sekarang menjadi begitu nyata untuknya.  Mereka anak Indonesia, bagian dari diri Frey yang tidak pernah Frey sadari keberadaannya. Mereka, semangat mereka, membuat ada rasa sesak dalam dada Frey. Mereka bagian dari bangsa Frey, Indonesia.

Frey melewati 6 sekolah dasar dari kota hingga masuk ke dalam desa tempatnya bertugas. Setiap sekolahan tersebut jaraknya sekitaran 20 kilometer dari sekolahan sebelumnya.  Ada beberapa anak yang Frey lihat naik kuda kecil mereka menuju sekolahan walupun jumlahnya tidak banyak.

Tidak terasa sudah dua jam perjalanan dan mobil mulai perlahan memasuki desa.  Frey berharap bahwa keberadan desanya di pinggir jalan utama agar masih dapat listrik sebagaimana tiang listrik berdiri kokoh namun Frey salah.  Beberapa lekukan jalan kecil masih harus Frey tempuh hingga setenggah jam dari bibir jalan utama barulah terlihat jelas desanya.  Tidak jauh bebeda dengan sebagian desa yang ada di Sumba Barat Daya, hampir sebagian penduduk di desa masih tinggal dalam rumah adat. Bangunan beratapkan setengah lingkaran yang terbuat dari kumpulan rumput alang-alang yang disatukan dengan tembok kayu dan alang yang bila beruntung dapat berubah menjadi tembok anyaman bambu.  Namun sebagian kurang beruntung sehingga bangunan asli tersebut lebih mirip dengan gubuk seperti di sawah Jawa namun ukurannya lebih besar sekitar 5x6 meter. Atap yang khas membuat rumah asli penduduk Sumba ini disebut sebagai rumah alang.

Frey berada di depan rumah yang nantinya akan menjadi tempatnya melayani masyarakat sekitar. Maklum, walau desa Frey ini dekat dengan Puskesmas namun tetap saja dekat menurut ukuran penduduk desa adalah satu jam berjalan kaki. Frey menarik napas panjang, tidak ada kasur empuk, listrik terang benderang, kompos gas mewah, pendingin ruangan, dan berada di daerah malaria dengan penduduk asli yang sebagian besar tidak menggunakan bahasa Indonesia. Ini sama seperti pengalaman sahabatnya yang mengabdikan dirinya sebagai dokter tidak tetap di tempat terpencil hanya saja sepertinya mereka lebih beruntung ditempatkan di puskesmas dengan cadangan listrik atau sekadar genset sebagai alat penerang utama. Ah, tapi Frey sudah memutuskan untuk melangkah ke pedalaman ini yang artinya ada tiada apapun harus dijalani.

Bagunan Polindes  sebagai sub di bawah Puskesmas yang akan ditempatinya tersebut menjadi bangunan dinding batu yang kontras dengan rumah alang milik penduduk sekitar.  Frey memasuki bangunan yang cat temboknya sudah tidak berwarna putih lagi tersebut.  Memeriksa setiap ruangan dan dirinya miris, ini benar-benar akan menjadi tempat tinggalnya nanti.  Di samping bangunannya tampak rumah sederhana berdindingkan triplek yang akan digunakan untuk tempat tim peneliti lainnya.  Frey  tidak yakin tipisnya dinding itu dapat menangkal dinginnya malam. Sementara matanya tidak lepas dari setiap detil ruangan yang dimasukinya.  Tempat yang akan menjadi klinik ini terdiri dari satu ruangan pemeriksaan, ruangan perawatan yang lebih mirip dengan gudang, satu ruang tidur perawat dan satu ruangan penyimpanan obat yang Frey anggap memang gudang.  Sisanya dua kamar mandi yang sangat tidak terawat lantaran memang tidak ada airnya.   Frey boleh memilih salah satu ruangan yang nantinya akan digunakan sebagai kamar pribadi walau sebenarnya tidak ada pilihan ruangan selain memperbaiki ruang perawatan.  Di kamar itulah nantinya Frey akan menjalani sisa harinya yang masih belum dimulai.

Hari-hari berikutnya merupakan perjuangan baru.  Frey akan tinggal bersama perawat yang memang asli penduduk di sana dan tentunya mengerti bahasa setempat.  Membersihkan ruangan yang akan menjadi kamar tidurnya ternyata menguras banyak tenaga.  Ruangan yang lama tidak pernah dihuni tersebut sangat berdebu dan ditinggali laba-laba raksasa di setiap ujungnya.  Ruangan yang hanya berukuran 3 x 3 meter tersebut harus Frey sulap menjadi kamar walau hanya sebuah tempat tidur dan lemari saja yang nantinya menemani Frey.

Frey berharap kasur busa masih akan menemani tidur malamnya tetapi hanya kasur dengan sumpalan kapas yang dijahit kasar saja yang menemaninya, bertengger indah pada tempat tidur yang terbuat dari bambu.  Seminggu pertama Frey selalu saja terbangun tengah malam karena merasa ada yang mengganjal di punggungnya.  Frey akan terus bertahan, hanya butuh dua minggu saja melewati semua awalan ini dan setelahnya dia pasti sudah terbiasa.

***

9 komentar:

  1. terimakasih bu Dokter sudah memberi dukungan buat anak-anak hehe--

    waaa sepertinya ada another Mira W--bu Dokter yang suka menulis--

    Kalau sudah ada yang diterbitkan saya dikabari ya siap hunting nih...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mba Amel...hehe buku2 saya antalogi kroyokan bareng tmn2 smua dan non fiksi. Ada 99% CASSH (Cantik, Sehat Shalihah)

      http://a2.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc6/196203_1494440495637_1672809411_935340_7218798_n.jpg

      terus ikutin serunya SUmba ya mb....
      masih harus terus ngebut neeh

      Hapus
    2. Mba Amel...hehe buku2 saya antalogi kroyokan bareng tmn2 smua dan non fiksi. Ada 99% CASSH (Cantik, Sehat Shalihah)

      http://a2.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc6/196203_1494440495637_1672809411_935340_7218798_n.jpg

      terus ikutin serunya SUmba ya mb....
      masih harus terus ngebut neeh

      Hapus
    3. Mba Amel...hehe buku2 saya antalogi kroyokan bareng tmn2 smua dan non fiksi. Ada 99% CASSH (Cantik, Sehat Shalihah)

      http://a2.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc6/196203_1494440495637_1672809411_935340_7218798_n.jpg

      terus ikutin serunya SUmba ya mb....
      masih harus terus ngebut neeh

      Hapus
    4. Mba Amel...hehe buku2 saya antalogi kroyokan bareng tmn2 smua dan non fiksi. Ada 99% CASSH (Cantik, Sehat Shalihah)

      http://a2.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc6/196203_1494440495637_1672809411_935340_7218798_n.jpg

      terus ikutin serunya SUmba ya mb....
      masih harus terus ngebut neeh

      Hapus
    5. Mba Amel...hehe buku2 saya antalogi kroyokan bareng tmn2 smua dan non fiksi. Ada 99% CASSH (Cantik, Sehat Shalihah)

      http://a2.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc6/196203_1494440495637_1672809411_935340_7218798_n.jpg

      terus ikutin serunya SUmba ya mb....
      masih harus terus ngebut neeh

      Hapus
    6. Mba Amel...hehe buku2 saya antalogi kroyokan bareng tmn2 smua dan non fiksi. Ada 99% CASSH (Cantik, Sehat Shalihah)

      http://a2.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc6/196203_1494440495637_1672809411_935340_7218798_n.jpg

      terus ikutin serunya SUmba ya mb....
      masih harus terus ngebut neeh

      Hapus
  2. jeng...nah di sini baru terasa seruuuu...akumulai merasakan atmosfer sumba....lagi OL gak??miss u much hun..

    BalasHapus
    Balasan
    1. tenang bu...ini belum seberapa....masih harus bersabar dengan cerita pembukanya *aku aja ngrasanya lama banget masuk ke SUmbanya...hahaha

      ne lgi OL mo rapat ke kota
      tapi siang dh balik lgi :)

      Hapus