Senin, 09 Januari 2012

Chapter 5

                                                                  Chapter 5

Frey meletakkan gitar kesayangannya dengan hati-hati di kabin pesawat.  Dia rela barang lainnya masuk dalam bagasi asalkan ransel dan gitar kesayangannya selamat. Gitar akustik pertama yang dibelinya saat SMA itu memang menjadi gitar kesayangan dibandingkan gitar lainnya yang ada di rumah sebagai koleksian mamanya. Terkadang Frey berpikir kalau dirinya salah ditakdirkan menjadi dokter karena memang satu-satunya yang dia suka hanya pelajaran musik dan Bahasa Indonesia.  Matematika dan pelajaran IPA terpaksa disukainya hanya karena papanya dokter.  Nyatanya dari keterpaksaan itu Frey malah berhasil menjadi delegasi mewakili negaranya di olimpiade sains mewakili cabang biologi.  Hal yang aneh menurut Frey.  Banyak saingannya yang lebih menyukai biologi dan belajar mati-matian demi menjadi yang terbaik tapi Frey yang terpaksa menyukai biologi malah yang terpilih.
Deru mesin pesawat masih terdengar jelas. Walau sudah berulang kali terbang tetap saja Frey menyukai deru mesin saat pertama kali pesawat dinyalakan. Selalu saja Frey memilih kursi di dekat jendela.  Dia rela antri pertama di ruangan check in agar dapat leluasa memilih tempat duduk dekat jendela bahkan jika akhirnya dia tidak berhasil, dia akan berusaha bertukar tempat dengan siapa pun di pesawat nantinya. Dengan alasan apa pun, dan Frey selalu berhasil mendapatkan pemandangan dari jendela tersebut.
Dari seluruh proses melajunya pesawat, Frey paling suka adegan saat pesawat merangkak naik.  Frey dapat merasakan tubuhnya akan terdorong ke belakang dengan sendirinya walaupun sebenarnya secara fisika efek posisi Frey tidak ada yang berubah.  Merangkaknya pesawat ini terasa seperti tangan ingin menggapai sesuatu namun belum diijinkan sampai hingga akhirnya pesawat berada pada posisi stabil, tidak merangkak naik lagi. 
“Ini namanya hukum gaya fisika Frey.  Saat kamu menanjak, rasanya berat namun cita-cita itu selalu di depan mata dan tanpa terasa tanjakan itu berubah menjadi jalan lurus.  Bukankah kamu dapat dengan mudah mendapatkan apa yang kamu mau setelah berusaha keras terlebih dahulu” kalimat itu tiba-tiba terngiang setiap kali Frey memejamkan mata menikmati pesawat yang menanjak ini.  Kalimat itu membuat Frey lebih tenang ketika harus berpergian jauh tanpa pendamping. Reza dengan kecerdasan yang luar biasa adalah orang pertama yang mengatakan filsafat tanjakan pesawat kepada Frey. 
Saat itu keduanya mewakili Indonesia untuk mengikuti olimpiade sains di Singapura.  Mungkin Tuhan mempertemukan simpul-simpul benang merah itu melalui Reza. Andai Frey tahu dia akan bertemu Reza, dia bahkan rela seperti orang lain yang mati-matian belajar Biologi agar berhasil ke tingkat internasional bersama Reza.  Tapi Frey sudah mendapatkan itu tanpa harus benar-benar mencintai Biologi.
Frey ingat itu perjalanan luar negeri pertamanya tanpa mama papa walaupun Frey tahu boleh saja membawa orang tua dalam perlombaan bergengsi tersebut. Namun, kebanyakan delegasi lainnya tidak melakukan hal tersebut sehingga Frey memilih hal yang sama juga. Frey juga masih ingat kalau itu pertama kalinya Reza naik pesawat namun Frey heran dia sudah dapat berfalsafah sangat dalam. Reza mewakili bidang fisika dan berhasil meraih emas karena kecemerlangan otaknya. Frey tahu Reza pasti berhasil sejak pertama kali dia bertemu dengan Reza ketika mereka dikarantina selama dua bulan di Jakarta.
Selanjutnya, Frey benar-benar jatuh cinta pada Reza dan kebersamaan mereka yang sekejap membuat keduanya benar-benar kasmaran.  Setahun menjalani hubungan long distance di dua negara berbeda lantaran Reza memilih melanjutkan kuliahnya di Singapura sementara Frey menggeluti dunia kedokteran. Sesekali Frey yang ke Singapura menemui Reza dan tahun pertama Reza mudik ke Indonesia dua kali hanya karena rindunya pada Frey tidak dapat dibendung.  Memasuki tahun kedua, email Frey tidak lagi pernah dibalas oleh Reza. Hubungan keduanya perlahan menjauh hingga akhirnya menghilang.  Frey nyaris pergi ke Singapura lagi untuk mencari tahu kabar Reza andai saja tugas kedokterannya tidak semakin membuatnya gila. Reza benar-benar menghilang tanpa kabar dan menyisakan tanda tanya besar di kepala Frey.

***

“Frey…lo gak bisa penasaran kayak gini terus ama ending cinta pertama lo.  Mau ampe kapan lo terus nginget dia sementara lo sendiri gak tau apa Reza masih inget lo apa gak” Frey terkejut, kisah tujuh tahun silam tampak seperti baru saja terjadi. Suara Nadia sahabatnya terdengar jelas sekali.
“Kalo lo penasaran, hayoh gw temenin lo nyari dia. Bahkan ampe Singapura juga hayoh asal setelahnya lo gak terbayangi terus. Lama-lama kalau lo berhalusinasi bisa repot gw. Lebih susah nyembuhin dokter yang gila tahu” Frey tahu dari awal Nadia memang bercita-cita menjadi psikiater tapi Frey tidak mau jadi pasien gila pertama yang nanti dirawat oleh sahabatnya itu.
Cinta pertamanya dengan Reza memang belum usai. Mereka berdua berpisah tanpa sebab yang jelas bahkan tanpa mereka sadari. Hanya saja Frey masih ingat jelas mimpi tertinggi Reza menjadi ahli fisika bahkan kegemarannya tentang bacaan nuklir membuat Frey bergidik ngeri.  Secara perhitungan tahun boleh jadi sosok lelaki penuh pesona itu sudah menggondol gelar professor.  Bukan hal yang tidak mungkin karena setahu Frey Singapura mempunyai kerja sama dengan beberapa negara tertentu sehingga lulusan S1 dapat meloncat lanjut langsung ke S3.
“Gw gak mau!!! Biar Reza yang nyari gw!!!” Frey juga ingat perkataannya tersebut sebelum sahabatnya memutuskan melanjutkan pendidikan spesialis kedokteran jiwa sementara Frey masih menikmati karirnya di rumah sakit.  Bukan hal yang sulit sebenarnya jika Frey memang ingin mencari keberadaan Reza. Toh ketika mereka menjalani long distance selama setahun, dua kali Frey yang kabur ke Singapura untuk menemui Reza melepas rindu.  Walau setelahnya Reza menghilang dan Frey semakin tenggelam dalam kesibukannya.
Email yang biasanya rutin dibalas Reza sudah tidak lagi menunjukkan keberadaan Reza. Bahkan nomer telepon pun tidak ada satu pun yang dapat dihubungi. Lenyap tanpa jejak menyisakan tanda tanya besar di kepala Frey, apa yang salah? Hingga akhirnya tujuh tahun berlalu masih saja tidak ada kabar walaupun Frey masih rutin mengirimkan ucapan selamat ke email di setiap hari kelahiran Reza. Tidak pernah ada balasan seperti terakhir Reza menghilang.
Rasa penasaran masih membelenggu Frey sehingga dia tetap rajin mengetikkan nama dan hal-hal yang disukai Reza di mesin pencari canggih internet. Berharap ada simpul-simpul benang merah yang menghubungkannya kembali dengan Reza namun gagal. Hal ini membuat Frey merasa sangat janggal karena berdasarkan analisisnya seharusnya mudah menemukan nama Reza karena pastinya dia sudah menjadi ilmuwan dan namanya akan mudah ditemukan di mesin pencari.  Kenyataannya tidak dan membuat Frey berpikiran jika Reza mengubah nama atau kewarganegaraannya tapi toh tetap saja tidak dapat dilacak. 
Rasa penasaran itu membunuh hati Frey perlahan.  Dia masih menunggu kedatangan Reza mengetuk kembali hatinya.  Entahlah, sulit baginya menemukan sosok Reza lainnya walaupun Frey bertemu dengan banyak lelaki setelah Reza. Dari sekian banyak, hanya Arjuna yang mendekati kemiripan sosok Reza sehingga membuat Frey lebih cepat dekat dengan Arjuna namun Frey menyadari dia hanya menjadikan Arjuna pelarian dari pencariannya kepada Reza selama ini.  Bahkan mencintai Arjuna pun terasa sulit jika tidak mengaitkan dirinya dengan Reza.
“Arjuna bukan Reza, Frey. Dia Arjuna dan dengan caranya dia mencintai lo. Kalau memang lo gak bisa lupain Reza, jangan jadikan orang lain pelarian lo dalam mencintai. Itu hanya akan menyakitinya semakin dalam” ucapan Nadia membuat Frey terdiam. Setelahnya, Frey memutuskan untuk menjadikan Arjuna sekadar sahabat agar tidak menyakitinya terlalu dalam.
***

Tidak terasa pesawat sudah berada di atas angkasa sekarang.  Awan biru yang membentang sudah mulai bergulatan di samping kanan kiri Frey.  Rasanya seperti taburan kapas raksasa yang menaungi bumi, begitu empuk kukira. Tapi cinta pertama Frey yang ahli fisika bilang bahwa awan itu hanya kumpulan gas yang artinya sama sekali tidak empuk bahkan tidak dapat dipegang sekalipun.  Frey tertawa.  Caranya menjelaskan hal tersebut seperti bapak guru menjelaskan ke anak TK.  Tentu saja Frey sudah tahu tentang hal itu tanpa dia jelaskan sekali pun.
“Kenapa tertawa?”
“Iya bapak guru…aku inginnya bapak guru bikin cairan ajaib biar awan itu benar-benar berubah menjadi em…puk” Frey menekankan kata terakhirnya dan melihat wajah lelaki disampingnya seperti berpikir keras.
“Kamu benar-benar aneh Frey.  Ini request teraneh dalam hidupku”
“So…u gotta do it for me right”
“Hmmm….rasanya gak mungkin deh menciptaka cairan ajaib untuk mengubah semua awan itu”
“Okey…bagaimana kalau hanya awan yang itu saja…Look” Frey menunjuk satu buah gumpalan awan putih yang terlihat sangat halus, ukurannya tidak begitu besar, hanya muat dua orang dewasa saja bila ingin naik di atas awan itu.  Ujungnya bergerinjal halus seperti lekukan indah ombak tengah laut.  Melihatnya sekilas membuat Frey teringat akan awan Goku dari kisah kartun masa kecilnya, Dragon Ball. 
Reza menyondongkan badannya, mengikuti arah jariku pada awan temuan Frey. Dagunya masih saja sama, tidak pernah rapi kalau bercukur.  Rasanya ingin sesekali Frey merapikan hasil cukurannya itu.  Untung saja Reza tidak pernah memelihara kumis karena Frey paling tidak suka lelaki berkumis.  Tapi jujur Frey suka potongan rambutnya kali ini.  Ah sial, Frey sudah tidak memperdulikan awan itu lagi sekarang.
“Frey…kok nglamun” sial, Reza memergoki ketika Frey memandang wajahnya.
“Eh…siapa juga yang nglamun” Frey salah tingkah
“Terpesona ama potongan rambut baruku ya”
“Yeee…GR” Frey mencubit lengannya dan dia hanya meringis pura-pura kesakitan.
“Ato malah terpikat ama kegantenganku yang mirip Tom Cruise” Frey terbahak, kali ini seperti tertawa bebas yang bila dibiarkan terus maka pramugari dapat mengusir kami berdua dari kursi ini.  Kalimat itu selalu saja diucapkan Reza namun Frey tidak pernah bosan mendengar leluconnya yang satu itu.  Memang tidak mirip dengan Tom Cruise tapi dengan postur tubuhnya yang meninggi hingga 170 cm dan rambut sedikit pirang, Reza memang lebih terlihat seperti orang Eropa dibandingkan orang Asia.  Yah, tentu saja karena dia memang keturunan Jawa-Belanda.
“Trus…?” Reza sepertinya masih penasaran dengan jawaban Frey.
“Hmmm…kamu itu udah gedhe tapi gak pernah rapi kalau nyukur jenggot…” Frey memegang dagu Reza, menunjukkan beberapa rambut tipis di dagunya.
“Pengennya sih ada yang ngerapin” Reza memegang tangan Frey dan kali ini gantiian Frey yang mati kutu apalagi tatapan mata Reza sudah tidak dapat dihindari lagi.  Mata mereka beradu lama seperti ada ribuan kata yang ingin diungkapkan namun hanya tersendat di tenggorokan saja. Dan Frey tidak pernah menduga itu perjalanan terakhir mereka sebelum berpisah.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar