Rabu, 04 Januari 2012

Chapter 2

CHAPTER 2
Suara jam dinding besar di ruangan utama rumah Frey berdentang keras. Sudah tepat jam dua belas siang rupanya. Pantas saja panas semakin terasa terik walau Frey sudah menyalakan pendingin sekali pun.

“Frey sayang…apa keputusan kamu sudah tidak bisa diubah lagi. Mama gak pengen kamu pergi kesana. Hadoh mama gak bisa banyangin ntar kalau kamu sakit atau kena malaria trus siapa yang ngurus kamu ntar. Udah deh kamu disini aja ya sayang. Kan karir kamu di rumah sakit juga udah bagus. Kalau kamu mau sekolah ngelanjutin spesialis juga gak papa asal kamu gak pergi jauh” Nyonya Singgih masih saja mencoba merayu anak pertamanya itu.

“Tenang aja mama. Ntar Frey bakal sering-sering telepon mama deh”

“Jangan lupa kasih kabar terus ke mas Bambang ya” Frey langsung terdiam dari membereskan kopernya, ah nama itu lagi. Bahkan hingga mendekati kepergiannya tetap saja masih disinggung nama itu.  Padahal Frey berharap nama itu segera memutuskan pertunangan karena keputusannya memasuki dunia pedalaman.  Andai membahagiakan orang tua semudah membalikkan telapak tangan mungkin dari awal Frey tidak akan terjebak dalam pertunangan yang tidak melibatkan perasaan sama sekali ini.

“Kasian kalau Mas Bambangmu terus mengkhawatirkan keadaanmu disana”

“Iya mah” Frey hanya menjawab singkat jika sudah menyangkut nama tunangannya agar tidak terkesan menjadi anak yang tidak berbakti.

“Kok lemes gitu jawabnya sayang. Kamu gak sreg ama mas Bambang ya?” Nyonya Singgih malah mengeluarkan pertanyaan yang hanya akan membangunkan singa tidur.

“Mah…udah deh gak usah ngomongin mas Bambang mulu. Kalau dia mau kan dia bisa ikut pindah tugas sekalian di pedalaman sana. Nyatanya dia tetap di sini. Lagian Frey juga tahu kalau ini sudah keputusan final mama papa jadi apa salahnya juga kalau kepergian Frey ke pedalaman ini juga keputusan final!” Frey rasa dirinya sudah selesai berbenah koper dan ada alasan untuk menghindari obrolan ke arah yang lebih serius.

“Frey…maksudmu apa sayang?” Nyonya Singgih menatap nanar wajah anak tersayangnya.

“Udahlah mah lupain aja. Anggep aja Frey gak ngomong apa-apa tadi. Frey pergi dulu mah. Lupa beli pelindung nyamuk neh” Frey segera ngeloyor pamitan secepat kilat dan masih menyisakan banyak tanda tanya di benak Nyonya Singgih.

“Jun…lo dimana? Gak lagi jaga kan. Ketemuan di tempat biasa yah sekarang!” tidak butuh waktu lama untuk Frey memastikan Arjuna akan datang di tempat favoritnya.  Entahlah hubungan ini memang aneh.  Arjuna selalu saja berada di samping Frey ketika gadis itu membutuhkan.

Jejeran buku yang berderet membuat perasaan Frey sedikit nyaman.  Dilihatnya beberapa buku yang masuk dalam deretan best seller. Dibaca resensinya dan jika suka Frey tinggal memasukkan ke tasnya saja. Tapi yang paling mengasyikkan adalah duduk di sofa panjang dan melihat aktivitas orang-orang yang gila membaca.  Tidak lama, Frey merasa ada seseorang yang duduk di sofa dengan membelakanginya.

“Halo miss bookacholic. Kangen ama buku-buku neh atau sengaja bikin pertemuan terakhir ama gudangnya buku neh” Frey tidak perlu menoleh ke sumber suara karena sudah pasti suara bariton yang membuat banyak gadis tergila-gila itu milik Arjuna saja.

“Tumben lo gak salah sofa Jun. Dah ganti soft lens ya” omongan Frey membuat Arjuna membalikkan badannya dan duduk bersebelahan dengan Frey.

“Coba lihat…wah buku berat lagi neh yang lo ambil.  Lo gak pernah bosen baca tuh novel yang super tebel yah. Pakai bahasa orang lagi” Arjuna mencomot novel Indonesian Gold karangan Kerry B. Collinson.

“Ah gak juga. Lo kan tau selera gw. Neh udah gw beli novel yang rada ringan” Frey menunjukkan tas belanjanya yang sudah dipenuhi beberapa novel best seller.

“Ah palingan gak nyampe seminggu juga udah kelar lo baca semua neh. Trus ntar sisanya kalau lo bosen lo mau baca apa? Di sini yang jam sibuk aja lo masih sempet baca apalagi di pedalaman ntar yang lo bingung mau ngapain” tidak butuh waktu lama untuk Arjuna merasakan cubitan ringan di lengannya seperti biasa.

“Yeh…that’s why you be here now Jun” Senyum nakal Frey membuat Arjuna tersenyum.  Rasanya seperti terjebak dalam permainan yang unik. Yah, dia harusnya paham bahwa Frey tidak akan mudah mengajaknya keluar di detik-detik terakhirnya jika bukan karena ada sesuatu.

Anything for you my Princess” kali ini giliran Frey yang dibuat salah tingkah karena Arjuna sudah berada di hadapannya dengan tangan mendayu bak Pangeran menjemput sang Putri impiannya. Keduanya tersenyum, mereka tahu waktunya tidak banyak lagi.

Frey pun segera mengajak Arjuna berjalan mengelilingi toko buku terbesar sekaligus tempat favorit mereka karena setelah lelah berputar mencari buku maka keduanya akan terkapar di lantai tertinggi menikmati makanan.

“Nah etalase yang novel psikologis itu ada beberapa yang belum gw baca. Tapi belum prioritas banget sekarang cuma bener kata lo, buku yang gw beli udah bakalan habis gw baca dalam waktu singkat jadi sisa waktunya gw cuma bisa ngandelin lo aja. Gw akan nunggu lo ngirim semua buku ini ke pedalaman gw nanti yah. Oh yah…di etalase buku anak masih ada ini…ini…ini…siapin juga yah bulan depan. Beberapa buku anak udah gw bawa” Frey terus saja berjalan mengitari deretan buku namun tetap saja dia masih tidak menyadari tatapan mata Arjuna tidak lepas darinya.

“Mencintai seseorang tidak butuh alasan Frey…bahkan menunggunya juga tidak butuh alasan” Arjuna berkata lirih.

“Eh barusan lo ngomong apa Jun?” Frey segera menoleh ketika dirasanya ada suara dari bibir Arjuna.

“Eh bukan apa-apa. Lo mau dikirimin apa aja tadi?”

“Jun…jadi dari tadi lo kemana aja. Wah harus puter balik neh buat nunjukin lo lagi mana aja yang mesti dikirim nanti” Frey langsung pucat pasi namun dibalas dengan tatapan cengir Arjuna.

“Gak lah Frey…lo tau kan daya ingat gw lebih tinggi dari kecepatan ultrasonik sekali pun” Arjuna pun menyebutkan semua buku yang diinginkan Frey tanpa terlewat sedikit pun.

“Yeh…gw dah hampir lemes neh kalau harus ngulang lagi. Lo tau sendiri kita udah naik ke lantai berikutnya. Kayaknya list gw buat cadangan buku setahun udah kelar deh. Gw dah kirim semuanya ke rekening lo yaaah” kali ini Arjuna yang mendadak terdiam. Kebiasaan Frey memang sulit untuk ditebak.

“Hadoh Frey lo pakai ngirim segala. Bahkan seisi tempat ini masih mampu gw hadiahin ke lo kalau lo minta mas kawin buku. Ups…” tentu saja keceplosan Arjuna mendapat ganjaran cubitan ringan lagi.

“Eit…ganti cubit disini dong” Arjuna sudah hapal kebiasaan cubitan Frey sehingga dia menyodorkan pipinya yang dibalas Frey dengan usapan lembut.

“Thanks ya…lo kan mesti nabung tuh duit buat bikin istana. Kan lo tau sendiri banyak banget perawat yang pengen ngikut lo praktek nanti jadi lo mesti bikin istana yang gedhe buat nampung semua fans lo”

“Frey…” suara Arjuna membuat Frey merasa ada yang aneh

“Kenapa Jun. Lo gak lagi sakit kan atau kecapean karena nemenin gw keliling neh tempat”

“Frey…”

“Jun…lo baik-baik aja kan” kali ini Frey menempelkan telapak tangannya di kening Arjuna.

“Gw pengennya lo yang ada di istana gw ntar”

“Plak!” ketukan ringan di kening Arjuna yang disambut dengan tawa lembut Frey kini menyadarkan Arjuna.

“Ya ampun…gw kira lo sakit Jun. Hahaha….udah dulu yah ngegombalnya. Gw lagi gak pengen sakit perut karena ketawa neh. Yuk lanjut lagi jalannya” Frey berbalik namun langkahnya terhenti karena Arjuna memegang erat tangannya.

“Jun…” kali ini bola mata Frey yang bermain menembus Arjuna yang makin memegang erat tangannya.

“Jun…” kali ini suara kedua yang membuat Arjuna melonggarkan genggamannya dan akhirnya melepaskannya di suara ketiga.

“Yuk lanjut” seketika Frey bahkan sudah melupakan adegan yang dirancang sepenuh hati oleh Arjuna tadi.  Arjuna pun memilih mengalah dan menjadi sahabat seperti biasa.

Dua keranjang penuh buku pun kembali menyita konsentrasi mereka. Memisahkan Frey dari buku sama seperti melepas kulit arinya perlahan hingga menimbulkan sakit luar biasa. Bahkan hingga menjelang kepergiannya saja masih sempat berburu buku.

“Balik yuk Frey…ntar mama nyariin lo lagi. Kan lo anak mama banget…” omongan Arjuna kembali mengingatkan Frey akan sedikit kekasarannya terhadap mamanya.  Kegembiraan bersama buku seperti membius dan menghilangka sakit terhadap apapun yang Frey rasakan.

“Sial lo. Emangnya kalau bukan dari rahim nyokap lo lahir darimana” dan keduanya tertawa.

“Iyeeee bu dokter cantik…gw masih normal keluar dari mulut rahim kok bukan dari hidung kayak lo” langsung saja kebiasaan menjawil hidung Arjuna kumat dan Frey menjadi sasaran empuk.

“Lo ini…kapan seh bisa gak pake njawil hidung. Sakit tahu dokter gila!”

“Wah ngomongin diri sendiri neh. Hahaha”

“Sialan lo. Mesti banyak-banyak berlatih berbakti ke nyokap lo. Surga ada di bawah telapak kaki ibu loh” kini keduanya sudah berjalan menuju salah satu tempat makan favorit mereka dengan dua plastik besar berisi buku.

“Gw heran kenapa mesti di bawah telapak kaki neh. Kenapa surga gak di bawah vagina ibu aja kan jelas-jelas tuh kita semua mbrojol dari vagina” seperti biasa terkadang spontanitas Arjuna membuat Frey berpikir atas hal-hal yang tidak pernah dipikirkannya sekali pun.

“Wah…repot tuh kalau surga di bawah vagina ibu, anak kecil gak boleh ngintip dong kayak di telapak kaki ibu. Atau memang karena daerah yang satu itu udah disiapin buat bapaknya anak-anak jadi bunyinya bagi suami, surga di bawah vagina istrinya” Frey membuat analisis sederhana sembari menunggu pesanannya datang.

“Hmm…boleh juga tapi pernah mikir kenapa Tuhan pakai perumpamaan telapak kaki ya. Coba deh lo analisis secara anatomisnya” kali ini Arjuna memancing Frey mengeluarkan analisis secara ilmiahnya.

“Telapak kaki yah…secara anatomi kita tahu sih kalau telapak kaki itu bagian kulit yang paling tebal dibandingkan kulit lainnya.  Selain itu, telapak kaki letaknya di bawah sebagai tempat melangkahkan setiap tujuan dan dia menyangga semua berat tubuh”

“Yup…setuju Frey. Tuhan lebih tahu yah kalau wanita itu akan menyangga semuanya termasuk keharmonisan keluarganya dan dengan langkah kakinya dia akan merestui kemana anak-anaknya nanti melangkah” kalimat terakhir Arjuna membuat Frey terdiam.

“Mama gak setuju gw pergi tapi gw rasa gw akan komunikasiin lagi dengan lebih baik setelah ini” Frey mengalihkan pembicaraan.

“Sory Frey…gw gak bermaksud ngingetin lo ke mama. Tenang aja…ntar gw bakal sering main ke rumah buat menghibur tante kalau dia kangen anak tercantiknya ini”

“Santai aja Jun…masih ada adik gw yang ntar nemenin mama kok”

“Adik lo yang mana…kan semuanya dah nikah dan gak serumah lagi” kali ini Frey yang terdiam karena dia memang lupa hal penting satu itu.  Hanya dia sendiri yang belum menikah dan selama ini di rumah menemani orang tuanya walau kebersamaan mereka tidak banyak lantaran Frey terlalu sibuk dengan tugasnya di rumah sakit.

“Ups…nyaris lupa gw. Thanks udah diingetin. Ntar gw minta adik gw sering-sering nengokin mama deh”

“Ya udah…santai aja ntar biar gw aja nengokin tante gak masalah. Lo kayak gak tau siapa gw aja”

“Yeh…Kerjaan lo di rumah sakit kan gw jamin akan makin numpuk setelah gw pergi Jun jadi gw gak pengen nambahin kesibukan lo”

“Kagak lah Frey…masa seh nengokin ibu mertua sendiri dibilang sibuk” otomatis Frey mencubit keras lengan Arjuna yang tidak dapat dihindarkan lagi.

“Udah ya ngomong sembarangannya. Yuk pulang…gw mendadak kangen mama neh”

“Busyet…cepet bener berubah Frey. Baru aja jalan muterin neh toko buku empat jam dan lo udah pengen pulang”

Kali ini pembicaraan Arjuna sudah tidak begitu didengarkan oleh Frey karena pepatah surga di bawah telapak kaki ibu kembali terngiang di kepalanya. Memasuki cerebellumnya dan menembus langsung ke heparnya hingga Frey tidak dapat bernafas membayangkan bila surga berada di bawah vagina ibu. Rasanya menjijikkan walau kenyataanya memang benar bahwa setiap kepala akan muncul dari lubang ajaib bernama “vagina”.

*continued to Chapter 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar