Rabu, 04 Januari 2012

CHAPTER 1

Rumah sakit terbesar di kota ini masih tetap sama. Bangunan kokoh bekas peninggalan Belanda yang sudah dipugar di beberapa titik ini masih saja berdiri angkuh.  Hanya cat tembok berwarna putih rapi yang sedikit berubah, mungkin memang baru saja diganti catnya lantaran akan ada uji akreditasi rumah sakit seperti biasanya. Pasien tetap tidak banyak berubah, selalu saja ramai memenuhi bangsal dan poli seperti air bah bahkan pada beberapa kondisi nyaris seperti banjir bandang, datang tanpa dapat dihentikan.  Entahlah, lama-lama rumah sakit ini malah seperti puskesmas besar dimana setiap puskesmas kecil akan merujuk pasiennya untuk ditangani di rumah sakit ini, tentunya dengan dalih bahwa pasien memang tidak dapat ditangani di puskesmas biasa. Bahkan tidak jarang setelah hari besar dan libur panjang seperti lebaran maka kunjungan pasien yang dirawat meningkat hampir tiga hingga lima kali lipat. Butuh kerja keras dan kesabaran luar biasa untuk berada di rumah sakit ini dengan penampilan dan pelayanan prima tetapi sosok gadis itu sepertinya tidak mengindahkan lagi segala perjuangan yang telah dia lakukan di rumah sakit itu. Dua tahun karirnya di rumah sakit tersebut harus ditinggalkan hanya dalam waktu seminggu saja.  Surat pengunduran dirinya sudah sampai di meja direktur dan tentu saja hanya dalam hitungan hari dia sudah berada di depan meja besar berwarna cokelat dengan ukiran Jepara bertuliskan Direktur.

“Dokter Freya…surat pengunduran diri dokter sudah saya pelajari namun saya masih berharap dokter mempertimbangkannya dan kembali berkerja bersama tim kami.  Kita sudah seperti satu keluarga dan prestasi dokter selama ini sebagai dokter umum sangat kami hargai” suara serak yang sedikit berat tersebut menyadarkan Freya bahwa bukan hanya satu lelaki saja yang melarangnya pergi bahkan orang nomer satu di rumah sakit ini pun berkata hal yang sama.

“Terima kasih atas apresiasinya dok. Rumah sakit dan seluruh keluarga besar ini telah banyak memberikanpengalaman berharga untuk saya apalagi selama ini dokter tidak segan memberikan masukan secara pribadi kepada saya. Tapi keputusan saya sudah bulat, saya ingin belajar ilmu lain di pedalaman sana. Jikalau tidak keberatan nantinya mungkin saya akan kembali merepotkan dokter di rumah sakit ini lagi” dokter Frey berucap sopan dan Sang Direktur mengerti ada yang tidak dapat dihalangi dari jiwa petualang dokter muda yang satu itu.  Sang Direktur pun menjabat tangan dokter Frey sembari mengucapkan beberapa kata perpisahan.

Ruangan besar itu pun kembali hening.  Masih teringat dengan jelas Frey pertama kali memasuki ruangan itu saat dirinya masih berstatus sebagai mahasiswa kedokteran yang magang di rumah sakit tersebut.  Pengalaman yang cukup menegangkan karena pertama kalinya dalam sejarah seorang koas dipanggil menghadap hingga tataran Direktur dan diperbincangkan hingga rapat mingguan para dokter senior.  Pasalnya sederhana, sangat sederhana malah.  Frey hanya merayakan ulang tahun satu pasien yang dirawatnya ketika tanggal satu Januari tiba.  Mendadak rumah sakit heboh karena selama ini tidak pernah ada pelayanan merayakan ulang tahun seperti itu. Padahal, Frey hanya melakukan hal yang sangat sederhana. Pasien tuanya yang dirawat karena Diabetes Mellitus ingin sekali makan klapertaart buatan Manado karena teringat kekasihnya yang sudah lebih dahulu meninggal menghadiahkan masakan istimewa tersebut.  Dibantu beberapa perawat bangsal, Frey membuat sendiri kue khas Manado tersebut dan tepat di perayaan tahun baru memberikan kejutan tersebut.  Frey tahu penyakit kencing manis yang diderita kakek tua ini sudah komplikasi namun Frey juga tahu kenangan pertemuan cinta pertama tersebut harus dibangkitkan lagi untuk menyemangati si kakek.  Frey sudah berjaga-jaga dan memikirkan semuanya. Toh klapertaart yang dia buat harusnya super manis karena memang bahannya menggunakan gula dan susu manis namun telah dimodifikasi sedemikian rupa untuk mengurangi resiko kenaikan kadar gula pasien.  Bahkan, Frey telah mengukur ulang kadar gula pasien sebelum dan sesudah mengkonsumsi hadiah tersebut.  

Lalu bagaimana mungkin kasus sepelenya ini mendapatkan perhatian serius dari Direktur rumah sakit tempatnya belajar? Ternyata anak dari kakek tersebut adalah salah satu pejabat tinggi Pertamina dan mengucapkan terima kasih langsung dengan bertemu Sang Direktur atas perayaan ulang tahun yang sederhana tersebut.  Frey tidak menyangka sebelumnya karena memang pada hari ualng tahun kakek tersebut dia hanya berharap anak-anak kakeknya dapat berkumpul bersama.  Bahkan Frey sampai nekat menghias kamar perawatan si kakek dengan aneka hiasan ulang tahun sederhana ketika si pasien dibawa berkeliling sebentar dengan kursi roda.  Sejak kejadian tersebut, ide untuk memberikan pelayanan prima terhadap beberapa pasien mulai diterapkan namun tidak sampai yang heboh seperti yang Frey lakukan. Dia mendapat teguran keras dan juga pujian lembut dalam satu waktu dari Sang Direktur.

Tidak ada yang berubah banyak di ruangan Direktur sejak pertama kali Frey memasukinya lantaran keisengannya dulu. Bahkan direktur yang duduk di kursi mewah tersebut masih sama dengan direktur yang pertama kali menegurnya dulu.  Hanya saja, raut wajah yang menua makin terlihat di guratan kulit Sang Direktur.

Tidak lama setelah keluar dari ruangan tersebut, sebuah tangan menariknya lembut. Frey tahu tidak akan yang dapat mengubah keputusannya kali ini.  Keputusannya sudah bulat.

“Ikut gw,  kita harus bicara” lelaki tadi membawa Frey ke sebuah kafe.   

Kafe taman, sebuah tempat nongkrong yang dibangun dengan gaya minimalis di sudut taman rumah sakit, tempat yang memang kesehariannya menemani mereka melepas penat keseharian melayani pasien.
Sepasang minuman ringan yang dingin sudah berada di depan pasangan itu namun belum ada yang mulai untuk mengeluarkan suara. Tampaknya suasana di antara keduanya tetap saja dingin.

“Lo harus ubah keputusan lo Frey” lelaki tadi akhirnya membuka percakapan dengan tarikan napas yang berat.

“Lo gak bisa begitu aja ninggalin semua yang udah lo bangun di sini.  Lo gak bisa melarikan diri kayak gini Frey” suara lelaki tadi masih mendominasi, menunggu jawaban si gadis yang masih terdiam dan menyeruput minuman dinginnya dengan malas.

“Jun…sudahlah. Keputusan gw udah FINAL” akhirnya lelaki bernama Arjuna hanya diam namun dirinya tahu pasti sosok gadis di hadapannya masih akan mendengarkan pendapatnya.

“Frey…gw tau lo BANGET. Lo gak mungkin bisa hidup di pedalaman terpencil kayak gitu, tanpa air, tanpa listrik, dan tanpa kafe. Mau ngapain lo disana? Ngapain lo mesti ninggalin tempat ini. Gw tau mimpi lo masih panjag Frey dan melarikan diri ke tempat itu gak masuk ke draf panjang mimpi lo” Arjuna masih mencecar mencoba mengubah keadaan.

“Lo gak tau apapun tentang gw JUN” Frey berteriak kesal.  Dia memang sudah menghabiskan hidupnya dalam waktu lama dengan lelaki di hadapannya tetapi mendengarkan diktean yang memang kenyataan membuat harga dirinya terinjak.

“Oh…yap. Gw memang gak tau apapun tentang lo Frey tapi gw tahu BANGET apa yang lo mau. Freyka Anindya Puspita, dokter terkenal di rumah sakit yang pasiennya selalu saja banyak. Pedalaman bukan mimpi lo Frey. Ini cuma emosi lo sesaat untuk melarikan diri” kalimat terakhir membuat Frey ingin muntah. Memangnya kalau dokter terkenal dan sudah mempunyai banyak pasien langganan tidak boleh ke pedalaman.  Memangnya orang sakit hanya di kota ini saja. Memangnya ada aturan yang melarang dirinya untuk pergi. 

“Lo cuma sahabat gw Jun. Bukan siapa-siapa gw!” Frey mengambil sisa minuman kalengnya dan beranjak pergi.  Melemparkan minuman kaleng hingga tepat masuk ke dalam bak sampah tanpa memperhatikan lelaki yang juga masih mengejarnya, menyejajarkan langkahnya dan akhirnya memegang kedua pundaknya di lorong rumah sakit.  Beruntung pelayanan di poli rumah sakit sudah selesai dari siang dan giliran kedua dokter ini jaga gawang di unit pelayanan darurat.

“Frey…lihat gw. Kalau omongan gw bikin lo sakit, gw minta maaf.  Gw ngomong gini memang karena gw bukan apa-apa lo tapi sahabat lo. Gw gak pengen lo semakin sakit Frey. Kalau masalahnya ada di keputusan papa mama, gw bisa bantu lo untuk bilang ke mereka.  Perjodohan pertunangan atau segala macam apalah namanya yang seperti zaman Siti Nurbaya itu bisa dibatalkan.  Jangan pergi dari sini. Gw butuh lo….sebagai sahabat gw” Arjuna mengakhiri kalimatnya dengan tatapan lembut namun menghujam hati.

“Arjuna….Arjuna Mahardika, andai semua semudah yang lo bilang.  Andai dapat mencintaimu pastilah masalahnya tidak akan serumit ini. Andai benar-benar bisa mencintaimu” Frey menurunkan tangan Arjuna dari pundaknya. Kini tangan halusnya menempel lembut pada pipi lelaki tampan di hadapannya.  Hanya gadis buta dan gila saja yang tidak akan takluk di hadapan lelaki sempurna ini. Dan mungkin Frey salah satu gadis gila yang hanya memasukkan nama Arjuna sebagai sahabat walau sepenuhnya dia tahu rasa cinta di mata lelaki itu tidak akan pernah hilang. Sayang, semua kalimat tadi tidak pernah terucap oleh Frey. Matanya masih sejuk menatap dua bola mata Arjuna.

“Lepasin gw Jun. Keputusan udah gw ambil. Minggu depan gw berangkat ke Sumba. Jaga diri lo. Hari ini terakhir kalinya kita jaga bareng. Thanks buat semuanya” dan Frey pun berjalan pelan meninggalkan Arjuna yang masih terus berdiri di lorong panjang tersebut.  Lorong inilah yang sering menemani keduanya berbicara mimpi apalagi jika malam hari tiba dan mereka mendapatkan tugas jaga rumah sakit bersama. Lorong ini salah satu tempat favorit mereka dimana mereka merasa lebih aman dari gangguan pasien dibandingkan berada di kamar jaga mereka. Hari ini, hari terakhir mereka mengukir kenangan, memperdalam kenangan selama tujuh tahun agar tetap abadi sebagai sahabat.

“Frey…kenapa masih saja tidak dapat melepaskan bayangnya. Dia sudah pergi tujuh tahun ini tetapi tetap saja yang ada di mata dan hatimu hanya dia.  Mengapa tidak sekali pun memberikan kesempatan yang sama padaku? Mengapa harus ada yang salah dengan hubungan kita yang hanya sebagai sahabat” berbagai pertanyaan yang tidak pernah menemukan jawabannya itu selalu saja berhamburan di kepala Arjuna. 

***
Bippp…suara panggilan dari telepon genggam menghentikan lamunan Arjuna sementara dilihatnya Frey sudah hilang dari pandangan. Sejenak ragu mengangkat telepon tersebut karena nama Frey yang muncul disana. Namun disingkarnya pikiran lain, mungkin panggilan pasien seperti biasa.

I need you here soon Jun. Massal accident. ASAP” Arjuna segera melangkahkan kakinya berlari menuju ke IGD.  Nyaris saja dia lupa tanggal dan hari apa sekarang karena kecelakaan massal dan apapun pasien gawat darurat tidak mengenal waktu.  Tidak butuh lama untuk sampai di ruang jaga karena memang Arjuna sudah terbiasa lari.  Ternyata memang benar kecelakaan massal.  Ada kereta api terguling tidak jauh dari rumah sakit mereka dan sekarang IGD yang tadinya sepi menjadi berubah.  Segera saja kedua dokter tersebut melakukan indentifikasi kegawatdaruratan pasien.  Menentukan mana pasien yang harus ditangani pertama kali dalam situasi kecelakaan massal ini tidak mudah. Beberapa pasien mengalami patah tulang, beberapa terbakar gerbong kereta, dan sisanya luka ringan saja. Namun segera saja keduanya memprioritaskan pada pasien yang nyawanya masih dapat diselamatkan bila segera cepat bertindak.   Dua pasien mengalami perdarahan banyak yang tidak berhenti di lututnya yang tertindih balok kereta.  Dan dua dokter tadi sudah bermandikan darah mengatasi perdarahan dengan segera.  Telepon berdering dimana-mana termasuk konsultasi dengan dokter spesialis yang lebih berwenang untuk segera melakukan tindakan bedah agar nyawa pasien dapat selamat.

Belum selesai penanganan kegawatdaruratan pada 20 pasien ambrukan kereta, datang pasien tidak sadarkan diri.  Frey segera mendatangi pasien tersebut dan memeriksa kesadarannya. 

“Sudah berapa lama tidak sadar? Punya riwayat gula atau pernah stroke sebelumnya?” Frey dengan lincah bertanya sekaligus matanya tidak lepas dari memeriksa beberapa kelemahan alat gerak dalam ketidaksadaran pasien tersebut.

“Baru saja setengah jam yang lau, tiba-tiba bapak jatuh padahal sedang duduk saja di depan TV.  Memang punya gula dan pernah stroke sebelumnya dok” keterangan itu langsung diserap dokter Frey sembari perawat yang memeriksa tekanan darah memberitahukan 180/120 sebagai tekanan darah pasien.  Segera saja Frey menuliskan beberapa terapi yang segera dilakukan oleh perawat.  Tidak lupa juga pasien tadi segera dilakukan pemeriksaan CT-Scan kepala untuk mengetahui letak kerusakan otaknya.  Beberapa prosedur memang sudah wajib harus dilakukan bila pasien curiga stroke datang.  Biasanya setelah hasil laboratorium darah dan CT-Scan keluar maka tiap dokter umum yang jaga akan berkonsultasi dengan dokter spesialis tertentu.

Hari terakhir sebelum Frey meninggalkan rumah sakit ternyata pasien sangat banyak mulai dengan kecelakaan massal kereta api yang ambruk sampai pasien stroke.  Dua dokter ini cukup berusaha keras menangani IGD dengan baik.  Arjuna tidak dapat melepaskan matanya dari sosok Frey.  Rasanya dia ingin ikut pergi ke pedalaman.  Rasanya tidak masalah juga asal ada Frey di sampingnya, itu sudah cukup untuk pasokan oksigen yang mengisi paru-parunya.  Namun Arjuna tahu bahwa Frey memang gadis keras kepala yang sangat sulit ditaklukkan.  Bagaimana tidak, nyatanya tujuh tahun tidak membuat kondisi mereka berubah.  Arjuna tetap menjadi sahabat Frey.

“Istirahat dulu Frey…ini jaga terakhir lo yang ampe pagi. Lo mesti jaga diri lo biar gak sakit nanti. Eniwei…mau makan apa malam ini. Hayoh kita pesen delivery service sebanyak-banyaknya” Arjuna menyodorkan beberapa pamflet makanan yang biasa mereka pesan. 

“IGD udah aman kan ya Jun. Barusan gw cek ke ICU dan pasien stroke yang barusan di operasi kondisinya udah mulai stabil.  Semoga besok udah bisa pindah ke bangsal yah.  Pasien-pasien cito karena tuh kereta ambruk udah gw cek semua.  Mereka aman di bangsal sekarang. Beberapa yang OP udah gw lihat tadi dan sementara aman. Semoga ampe pagi semuanya aman-aman aja yah.  Kasian semua perawat ampe bingung tadi. Thanks ya udah bantuin gw” Frey bicara sembari mengecek status pasien yang ada di catatan IGDnya.
 
“Frey…lo yakin akan ninggalin ini semua? Lo itu dinamis.  Pasien udah aman aja masih terus lo cek satu-satu ampe lo rela gak tidur.  Bahkan gak jarang gw lihat lo sempetin ngobrol ke keluarga mereka cuma untuk menenangkan hati mereka.  Besok kalau lo udah ninggalin ini semua dan lo kangen terus gimana? Disana ntar lo gak bisa pesen delivery service loh” Arjuna kini sudah berada di hadapan Frey dan membuat Frey melepas baju putih dokternya.  Dia tertawa lembut namun semakin lama semakin mengeras dan berubah menjadi tangisan lemah.

“Gw pasti bisa Jun. Gw yakin. Gw akan coba. Gw harus kesana. Ada sesuatu yang memanggil gw untuk kesana. Gw percayain neh rumah sakit ke lo. Gw yakin ntar lo bakal nemuin dokter lain yang lebih hebat dari gw”

“Huh…kalau lo kuat lo gak boleh cengeng kayak gitu. Neh…hari ini lo bebas pesan apa aja. Gw yang traktir” Arjuna menjawil hidung Frey seperti biasanya.

“Eh dasar maniak hidung lo. Awas lo!!!” Frey membalas jawilan hidung dengan cubitan di lengan yang membuat Arjuna meringis kesakitan. Sepertinya Frey lupa baru saja dia menangis sesegukan dan kini sudah berubah menjadi tawa yang kembali ringan.

“Yeeeh….sakittt dasar miss bookacholic” Arjuna mengatupkan tangannya ke mulut manyunnya yang keceplosan bicara.

“Daripada elo Mr.Jabrik yang hobinya ayam kremes. Eh apa ayam kampus ya. Hahaha” Frey sudah benar-benar tertawa lepas sekarang.

“Sorry yaaa…itu mah zaman gw masih cupu waktu mahasiswa dulu.  Sekarang rambut gw udah keren gak jabrik lagi.  Habis gw kapok karena dulu ada cewek yang ngefans banget naroh permen karet di rambut jabrik gw”

“Eit…maksud lo apa tuh. Kenapa tuh mata ngelirik ke gw. Udah sering gw kasih tau yah, gw cuma sekali ngejahilin lo naruh tuh permen karet tapi sisanya bukan gw. Mungkin aja banyak cewek lain yang gatel nglihat rambut lo yang bisa mereka jadiin tempat sampah” Frey makin ketawa lepas.  Untung saja semua pasien sudah dalam kondisi aman sehingga dua dokter itu berada di kamar istirahat dengan nyaman.

“Eh masih ada berapa yang di ruang OP tadi? Kita pesen 20 cukup gak ama perawat yang tadi bantuin kita.  Hmm….ayam bakar Pak Solo masih buka kan. Ama 20 box KFC deh” Frey langsung mengalihkan pandangannya pada Arjuna yang masih menatapnya.

“Busyeet…lo laper apa kesetanan Frey? Bisa semua perawat neh RS makan tuh. Apa perlu gw cek satu-satu semua perawat di bangsal yang masih melek” Arjuna ngejawil lagi hidung Frey. Nyaris saja Frey kembali mencubitnya keras kalau saja Arjuna tidak segera menelpon pesanan mereka.

“Okey…gak pakai lama ya” Arjuna menghentikan percakapan di telepon dan memberikan simbol okey dengan jarinya.

“Bentar lagi mereka datang. Yah…walau mereka bilang gak pake lama tapi gw yakin lebih dari setengah jam seperti biasa. Yuk…kabur dulu” Arjuna menarik tangan Frey lagi. Keduanya sudah kabur ke kafe Pelangi yang ada di kawasan rumah sakit.  Biasanya bila ada pasien maka dijamin kedua telepon genggam mereka akan berbunyi.

Keduanya memilih kursi di pojok kafe dan tentu saja memesan mie pelangi yang khas. Mie layaknya mie bungkusan yang dimasak sampai matang sekali dan dicampur telor dadar di atasnya. Menu sempurna untuk perut keroncongan di rumah sakit. Yah, mereka memang menyebutnya sebagai mie nyemek pelangi karena memang kafe ini diberi nama pelangi. Entahlah, pojok rumah sakit ini memang sering member nama yang aneh-aneh untuk setiap tempatnya.

“Lo gak bakal kangen mie pelangi neh ntar disana” Arjuna mengangkat garpunya untuk menikmati mie super yang sudah tersaji panas di hadapannya.

“Gw bisa bikin sendiri ntar disana”

“Emang ada mienya disana?”

“Ntar gw bawa sekardus dari sini”

“Beda dong, ntar lo gak bisa denger suara Mang Ayun kalau bikin neh mie. Kan dia punya jampi-jampi khusus.  Denger aja tuh lagu india selalu berdendang kalau dia bikin neh mie. Betul kan Mang Ayun…” Arjuna seperti meminta dukungan suara dari pojok dapur dan dibalas dengan nada lagu India yang bikin keduanya ngakak.

“Wah bener juga tuh…Mang Ayun…sini bentar. Saya mau rekam suara Mang buat kenang-kenangan” dan tidak lama keduanya sudah menikmati penampilan Mang Ayun mendendangkan Kuch-Kuch Ho Ta Hai dengan merdunya. 

“Tuh ampe gw rekam segala biar ntar bisa nemenin gw bikin neh mie pelangi” Frey mematikan rekamannya dengan bangga.

“Jangan lupa telepon gw terus yah Frey kalau udah nyampe sana”

“Hm…gw gak yakin nemu sinyal disana. Gw juga gak yakin ada listrik disana. Mereka udah ngasih gambaran tempatnya ke gw dan gw rasa itu super pedalaman”

“Frey…Oh My God. I never imagine you will survive. Okey…kalau lo gak bisa telepon gw, biar gw rekam suara lo ya buat kenang-kenangan” Arjuna segera menyalakan perekamnya bahkan video rekaman juga.  Dia sudah punya banyak video yang menyimpan wajah Frey namun dia masih ingin lagi…lagi…dan sepertinya dia ketagihan.

“Hahaha…gokil lo. Emangnya kayak gw gak balik aja. Tenang aja Jun, gw cuma bentar disana. Yah…bener kata lo…gw memang melarikan diri dari masalah yang sebenarnya tapi gw janji tahun depan gw akan disini lagi nemenin lo makan mie pelangi”

“Yeeeeh….siapa juga yang ngrekam lo…” Arjuna kembali ngejawil hidung Frey dan mematikan video perekamnya.

“Eh gimana mama papa Frey?”

“Yah…awalnya mereka gak ngebolehin gw pergi.  Jauh banget apalagi ada malaria disana. Mama masih terus aja nangis tapi gw bilang gw cuma pergi bentar”

“Trus Mas Bambang gimana?”

“Apaan sih lo…siapa yah dia?” dan keduanya pun tertawa.

“Lo kan tahu gw. Walaupun umur gw dah nambah banyak tapi memang gw masih gak pengen nikah. Terserah dia lah. Gw gak terlalu mikirin dia gimana ntarnya”

“Bener banget tuh…mending lo mikirin gw aja kan ya” Frey tertawa keras

“Busyeet Jun…lo gak pernah bosen ngegombal yah. Pantes aja semua perawat klepek-klepek dan ngejadiin lo dokter terganteng favorit mereka. Hahahaha”

“Yeh…lo kira tuh perawat cowok matanya gak nanar ngliatin lo terus. Frey…lo itu  gak sekadar cantik. Cantik BANGET malah” kali ini keduanya tertawa lepas. Memang kalau stress sudah menyerang keduanya lantaran pasien banyak yang gawat maka cara paling sempurna adalah tertawa lepas dan selalu saja rayuan gombal ini berhasil memacing tawa mereka.

“Untung gw udah makan obat anti hidrosepalus yah. Kalau gak kayaknya kepala gw bisa membesar denger kegombalan lo yang selama tujuh tahun nemenin gw” Frey menyeruput kopi jahe panasnya, minuman pelengkap mie pelangi yang sempurna.

“Eh Frey…papa lo memang dokter jantung yang hebat yah”

“Hmm…kok lo tau?”

“Iya neh masa senyuman anaknya bikin gw takikardi”  

“Eh Frey…jangan-jangan dulu papa lo awalnya pengen jadi dokter jiwa”

“Hahaha…kok lo tauuuu sihh” Frey meladeni kegilaan Arjuna.

“Suara lo selalu terngiang-ngiang lebih dari halusinasi dengar neh bahkan wajah lo selalu terbayang-bayang di di mata gw” Frey memegang perutnya, tertawa lepas seperti adonan telor yang dikocok.

“Stop deh Jun. Kayaknya lo mesti bikin buku Kegombalan Dokter Ganteng dan gw jamin akan laris manis di pasaran”

“Ya pasti laris…cewek manis di depan gw aja sekali beli 10 buku. Eh neh buat lo” Arjuna mengeluarkan kotak kecil dari sakunya.

“Apaan neh? Gw gak berharap cincin kawin yah”

“Wah kalau lo mintanya cincin kawin mah langsung gw pakaiin sekarang. Buka aja. Gak dilarang kok” kali ini giliran Arjuna menyeruput kopi jahenya.  Frey pun membuka kotak kecil tersebut dan sebuah IPOD mungil tersembul.

“Apaan neh…” Frey masih tidak mengerti mengapa Arjuna memberinya sesuatu yang sudah dia punya.

“Isinya semua kenangan kita. Kalau mendadak lo kangen gw disana dan gak nemu sinyal atau apapun, lo bisa nyalain itu. Asal lo janji gak nangis pas nyalainnya. Kalau lo nangis ntar ada raksasa ganteng ngejawil hidung lo” Frey kembali tertawa

“Thanks deh. Ntar gw mau beli kacamata anti tangisan atau kalau perlu headset anti air mata biar gak nangis pas nyalain ini. Tapi kayaknya kegiatan gw disana bakalan sibuk banget jadi gw berharap seh gak kangen ke lo”

“Asal lo gak nglupain gw aja” Arjuna memperlihatkan deretan gigi putihnya sambil nyengir kuda.

‘Udah yuk…balik ke depan. Pesenan kita buat tim udah nyampe mungkin” Frey mengalihkan pembicaraan dan keduanya pun meninggalkan kafe Pelangi yang semakin sepi jika malam sudah memanggil.  Ah rumah sakit memang selalu menyimpan misterinya termasuk ketika dua dokter itu digosipkan sebagai sepasang kekasih toh tidak mengubah status di antara keduanya yang memang sahabat.

*continued to Chapter 2 ^_^ 

2 komentar:

  1. Terima Kaish sudah menulis tentang sumba...ceritanya bagus :)
    apakah novel ini sudah di cetak atau sudah ada hard copy nya??

    BalasHapus
  2. halo moroplanet
    waahh saya udah pernah ngenet disana tuh
    untuk sekarang bentuk hardnya belum ada karena masih proses mengajukan ke beberapa penerbit dan menunggu kabar

    doakan saja supaya dapat segera jadi hard
    tapi kl mau copy cerita utuh saya ada softcopyna

    thx:)

    BalasHapus