Senin, 09 Januari 2012

CHAPTER 3

Rumah ini satu-satunya yang terlihat paling dekat dengan bibir pantai, hanya berjarak 200 meter saja.  Gulungan ombak pantai yang mengguncang disertai awan biru indah di atasnya dapat dilihat dari rumah kecil itu.  Bahkan padang pasir putih yang membentang luas sebagai bibir pantai pun masih dapat terlihat walau samar.  Sedikit tanah berbukit menyembul dan menyisakan cekungan besar sebelum akhirnya menyentuh tanah pekarangan ruma. 

Bila musim kemarau sangat terik seperti sekarang ini, cekungan tersebut seperti tanah melambai yang kering dan sangat gersang namun beberapa kerbau masih bergumul mencari sisa-sisa rumput yang bertahan hidup.  Bila hujan turun maka sekejap cekungan tersebut berubah menjadi kubangan raksasa tempat mandi para kerbau dan juga salah satu tempat kegemaran Anopheles si penyebar malaria.

Musim kemarau masih menyelimuti desa kecil ini bahkan hampir seluruh Sumba padahal pekarangan itu hanya membutuhkan satu titik air hujan saja untuk menghidupkan biji-biji jagung dan padi yang sudah sejak lama dipersiapkan oleh penduduk desa.  Sedari pagi seorang Inya menggendong anak terakhirnya yang baru berumur setahun sembari mengeringkan sisa-sisa biji jagung yang mereka miliki.  Musim lapar telah tiba dan Inya tahu bahwa nasib lima orang anak dan suaminya berada di tangannya.  Dia harus menghemat sedemikian rupa biji jagung sampai musim tanam tiba bila ingin tetap hidup.  Itu pun bila hujan benar-benar datang.

Sementara anak gadisnya yang tertua berada di sampingnya, memungut satu persatu biji jagung yang sudah dipilah oleh sang Inya.  Tangan kecilnya memasukkan biji jagung ke dalam batu yang dilubangi tengahnya sehingga menyerupai lumbung.  Namun tidak dapat sepenuhnya dikatakan lumbung karena ukurannya memang kecil dan hanya satu lubang dengan kedalaman 10 sentimeter saja.  Dua genggam biji jagung biasanya cukup unutk makan keluarganya hari ini.  Ditumbuk  hingga lembut dan setelahnya dimasak dengan campuran air yang banyak.  Bubur jagung, begitu mereka menyebutnya.  Jika panen singkong masih tersisa maka mereka akan merebusnya bersama singkong.  Bukan benar-benar singkong sepertinya karena bentuknya lebih mirip dengan singkong berjamur yang di tanah Jawa disebut gaplek.  Mereka akan mengupas singkong hasil panen satu persatu dan memotongnya kotak kecil lalu merebusnya di atas tungku kayu.  Setelah mendidih, singkong kecil tadi akan ditiriskan dan dijemur hingga kering.  Tidak butuh waktu lama karena memang matahari tepat berada di tengah Sumba sekarang.  Namun biasanya mereka akan mengulang kembali jemnuran singkongnya keesokan hari hingga mereka benar-benar yakin singkong telah kering dan dapat disimpan.  Mudah saja mengetahui singkong keringnya, lemparkan ke tanah dan tidak pecah, itu tandanya.  Singkong itu mengeras akhirnya.

Terkadang jika mereka terlalu lelah dan persediaan kayu bakar berkurang, maka singkong tidak melewati proses direbus, langsung saja dijemur.  Kebanyakan memilih cara kedua yang lebih  sederhana  dan menghemat kayu bakar. Bukan kayu sebenarnya yang menjadi masalah utama tapi air untuk merebus karena lebih baik air mereka gunakan untuk minum keseharian. 

Mata air satu-satunya yang masih dapat diandalkan berjarak tidak jauh dari rumah alang tersebut, hanya perlu berjalan 10 menit saja walaupun harus sedikit berhati-hati menuruni lembah ketika sudah berada di bibir mata air.  Mereka menyebutnya mata air Putri Gurita lantaran dahulu kala di desa mereka ada putri cantik yang masih belum menemukan jodohnya sehingga setiap minggu selalu digelar pesta menari dengan mengundang banyak pemuda.  Walhasil setelah lama berpesta, datanglah lelaki yang membuat hati putri bergetar. Mereka menikah dengan mas kawin seribu ekor kerbau untuk sang putri.  Ternyata lelaki tampan itu jelmaan buaya sehingga si putri pun berubah menjadi gurita dan ikut serta dalam laut bersama suaminya.  Keduanya hidup bahagia hingga anak-anak mereka yang berwujud gurita menjadi bahan tertawaan ketika kembali ke darat menengok kakek neneknya.  Sejak saat itulah putri terus menangis dan air matanya menjadi mata air yang menyelamatkan banyak nyawa.

Apapun nama mata air tersebut yang terpenting memang lubang berdiameter satu meter itu memancarkan airnya walau dengan susah payah melawan teriknya kemarau. Seluruh penduduk kampung ini menggatungkan pada mata air tersebut untuk keperluan keseharian mereka walaupun rasanya sedikit asin karena terletak tidak jauh dari laut.  Dirigen beraneka ukuran biasanya dipanggul menggunakan kepala sebagai tradisi penduduk kampung dalam membawa beban.  Tidak jarang kedua tangannya masih membawa dirigen juga hingga total tiga dirigen akan mereka bawa sekali jalan.  Sulit, memang tapi begitulah keadaannya. Mengharapkan air bersih memasuki rumah dan listrik menerangi perkampungan mereka memang sulit.  Sama beratnya dengan hirupan udara yang makin menyesaki dada mereka.
*** 

continue to Chapter 4

1 komentar: