Senin, 23 Januari 2012

Chapter 8

CHAPTER 8


“Ibu Dokter…Pak Paulus kena gigit ular” lelaki muda tadi membawa berita buruk. Dokter Frey segera bangkit dari kursinya dan beberapa pasien yang belum diperiksanya dia titipkan ke perawatnya sementara.  Tangannya terampil mengambil beberapa peralatan yang dia butuhkan an memasukkannya dalam tas ransel kesayanganya.
“Dimana dia. Mari kesana su” tidak butuh waktu lama dokter Frey sudah menaiki motor klinik bersama lelaki muda bernama Yosep tadi.
“Kenapa tidak kau bawa sekalian kemari tadi?”
Su tidak dapat berjalan ibu. Dia tidak mau juga ibu. Su dari kamaren dulu dia kena gigit ular sampai tiga kali tapi tidak pernah mau ke klinik.  Saya su ajak tetap tidak mau. Dia bilang su  pakai obat dukun” penjelasan Yosep membuat Frey sedikit kesal. 
Kemarin dulu menjadi dua kata yang tidak terlalu Frey sukai karena hampir semua masyarakat desa menggunakannya jika ditanya kapan mulai sakit. Artinya dua hari yang lalu tapi Frey sendiri tidak terlalu yakin.  Secerdas apapun pertanyaan Frey menggali riwayat sakit pasiennya, tetap saja mereka menjawab kemarin dulu.
“Bagaimana dia punya luka sekarang?” Freya mengalah menahan kesabarannya.
“Itu dia ibu.  Bengkaknya su sampai paha baru dia kesakitan minta ibu periksa saat kakinya su tidak dapat berjalan” Frey kembali menahan emosinya. Ini entah sudah kali keberapanya orang desa lebih memilih dukun mulai dari dukun  beranak, dukun urut, sampai dukun lainnya untuk mengobati sakit mereka dan baru benar-benar datang ke dokter ketika kondisinya sudah parah.
What a fuck” terkadang Frey memilih serapah dalam bahasa lain yang tidak dimengerti penduduk. Jika sudah memuncak, Frey malah mengeluarkan aksen German secara alam bawah sadarnya. Sebenarnya dia sudah mempelajari beberapa kosa kata asli sana baik kosakata serapah maupun kosakata sapaan. Tetapi menurutnya serapah dalam bahasa asli sana lebih kasar jika diartikan sehingga Frey memilih kosa kata lain saja bila memang harus berserapah.
“Obat apa yang dikasih dukun memangnya?”
“Pelepah kulit kerbau yang dibakar ibu. Setelah panas sekali baru ditempel ke bekas luka gigit ular” Frey hanya mengangguk sembari membayangkan pelepah kerbau panas itu memang menyebabkan vasodilatasi sehingga mengurangi bengkak tapi jika terlalu panas malah dapat melepuhkan kulit. Sudahlah, mereka punya cara sendiri untuk selamat.
“Diikat tidak?”
“Ah tidak juga ibu, dibiarkan saja dan diulang lagi bila sudah dingin kulit kerbaunya”
“Ah pantas saja racun ularnya menyebar karena dia tidak mengikat erat telapak kakinya yang digigit ular”
“Oh begitu ibu. Pantas su dong sekarng tidak bisa berjalan”
Butuh waktu setengah jam mengendarai motor untuk menembus jejak tanah yang sudah mulai basah karena guyuran hujan.  Bahkan beberapa di antaranya sudah menjadi kubangan lumpur sehingga perlu keseimbangan kuat saat melewatinya dengan motor.  Tidak jarang Frey memilih berjalan kaki jika dirasakan kilatan licin sang lumpur dapat menggelincirkan motornya.
Berbeda dengan jalanan aspal yang ada di depan kliniknya, jalanan kali ini murni beralaskan tanah dan terkadang harus menembus ilalang hutan. Pantas saja banyak ular jika daerahnya masih dipenuhi tetumbuhan rimba.  Berdasarkan pengetahuan Frey, tidak ada ular mematikan di wilayah ini, namun tetap saja penanganan gigitan ular harus cepat untuk mengurangi penyebaran racunnya.
“Sebentar sampai Ibu” ujar Yosep ketika pintu gerbang perkampungan kecil itu sudah mulai terlihat dari kejauhan.  Memang bukan pintu gerbang dari besi atau kayu mewah melainkan hanya tumpukan batu besar saja di kanan kiri dengan bambu panjang yang diberi anyaman kain di ujungnya.
Memasuki perkampungan kecil itu seperti dibawa ke masa zaman batu dimana penduduknya maish sangat primitif.  Beruntung Frey tidak harus bertemu dengan penduduk yang tinggal di rumah pohon karena mereka semua sudah tinggal di rumah alang yang menapak tanah. Walau demikian tetap saja rumah yang dibuat selalu lebih tinggi satu hingga dua metter di atas tanah. Pasalnya bagian bawah rumah  akan dijadikan tempat memelihara hewan ternah mereka. Babi, kuda, kerbau, ayam bahkan juga memelihara nyamuk malaria.
Hanya ada sepuluh rumah alang di perkampungan ini dan termasuk besar karena terkadang kampung yang lebih kecil hanya dihuni setengahnya saja.  Tidak sulit bagi penduduk untuk tahu kedatangan dokter Frey. Mereka berkumpul secara otomatis tanpa dikomando, mengikuti kemana langkah kaki Frey. Apalagi anak-aak kecilnya karena memang Frey dikenal sebagai dokter bon-bon. Pasalnya, setiap kali bertmu anak kecil selalu saja Frey memberikan permen gula-gula manis sebagai hadiah.  Menghisap hal manis, cara itu memag ampuh untuk menghentikan tangis atau teriakan aak-anak yang lukanya dijahit dokter Frey.  Cara ampuh juga untuk menghilangkan kesedihan mereka akan kondisi yang selama ini menimpa mereka, hidup dalam kemiskinan yang berkelanjutan.  Walau terkadang Frey mengakui anak-anak di tempatnya ini lebih kuat dan jarang menangis.
Lelaki yang dibicarakan sudah terlihat duduk di beranda, tidak sulit untuk menemukannya.
“Hallo bapak. Bagaimana kabar kah gigitan ularnya? Katanya su tiga kali ya” dan lelaki yang dimaksud hanya mengangguk sembari memegang pangkal paha kirinya yang kesakitan.  Selanjutnya si lelaki sudah bercerita bangga kepiawaiannya menghadapai ular dengan jurus genggamannya bahkan menginjak tubuh sang ular. Sayangnya gagal karena ternyata si ular lebih hebat dan menggigitnya tiga kali. Tapi tetap saja cerita lelaki tadi yang diiringi bahasa Indonesia sesekali membuat warga yang berkumpul tertawa, lengkingan tawa yang khas menurut Frey karena seumur hidup belum pernah dia temukan jenis tawa yang menggelikan seperti ini. Bahkan jika tidak sedang tertawa pun kita akan terpancing untuk tertawa bila mendengar tawa mereka.
Frey segera memeriksa bekas gigitan ular yang sudah nyaris tidak terlihat lagi karena tiga hari membuat luka kecilnya sama dengan permukaan kaki lainnya.  Tinggal bekasnya saja dengan bengkak yang masih nyata, membuat kaki hitam itu terlihat gabungan warna merah dan hitam. Dipegangnya daerah bekas gigitan hingga ke pangkal paha untuk mengetahui penyebaran racun si ular.  Pantas saja paha kirinya sulit digerakkan karena memang bengkak sudah menajlar hingga di tempat tersebut.
“Awww…sakit ibu…” teriak lelaki tadi ketika Frey menekan bengkak di pangkal pahanya dengan tiba-tiba.
“Besok lagi kalau kena gigit ular, langsung ikat su dengan apa saja tidak jauh dari bekas gigitannya supaya racunnya tidak menyebar” ucapan Frey langsung diartikan dalam oleh Yosep yang menemaninya.
“Setelah itu segera bawa ke klinik.  Bapak masih bersyukur karena racun ularnya tidak terlalu kuat. Masih bagus merasakan nyeri seperti itu”
“Au…”teriak lelaki tadi lagi.
Karena kalau sudah tidak merasakan apa-apa nanti bahaya lama-lama.  Luka gigit ularnya dapat menghitam dan MATI. Akhirnya kaki bapak bisa dipotong. Mau su tidak punya kaki?” Frey mencotohkan adegan memotong kaki si lelaki sementara di dalam rumah tampak sepasang mata mengamati setiap detail yang Frey lakukan walau dia tidak sepenuhnya mengerti arti ucapan Frey bila tidak diiartikan oleh Yosep.  Tangan kecil itu mengintip dari celah bambu rumah si lelaki, dia terlalu malu untuk menampakkan badannya yang kumuh di hadapan Frey. Sementara ingus menggelantung di hidungnya namun matanya tidak lepas dari bayangan Frey.
Frey tidak tahu di kemudian hari, lelaki kecilnya itulah yang akan digandengnya menjadi kurcaci ke tujuh, melengkapi dongeng biadadari dan tujuh kurcaci.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar