CHAPTER 10
Bila sebelumnya Arjuna sudah mempunyai banyak penggemar karena berbagai pesonanya, rasanya sekarang lebih dari sekadar penggemar. Ada yang berubah memang dari wajah Arjuna akhir-akhir ini setelah sebulan uring-uringan karena berpisah dari Frey, dalam sekejap berubah total semenjak surat pertama Frey mendarat di kotak pos rumah sakit. Arjuna tidak habis pikir mengapa harus dikirim ke alamat RS dan bukan rumah pribadinya. Sepertunbya Frey sengaja membuat Arjuna makain terkenal jika nantinya didatangi petugas pos tiap bulan. Arjuna sendiri tidak menyangka seumur hidup akan menerima surat pribadi bersampul ungu. Tidak butuh waktu lama bagi Arjuna tahu siapa pengirimnya ketika amplop ungu tersebut sudah benar-benar di tangannya. Tulisan khass wanita yag slama bertahun-tahun menemani harinya sudah dihafal mati oleh cerebellum Arjuna.
Arjuna tertawa kencang sambil geleng-gelang kepala membuat perawat yang ada di sampingnya terkejut.
“Kenapa dok? Habis menang undian ya”
“Iya neh Bu. Undian cinta. Saya off dulu ya Bu. Operan ama dokter Winda setelah ini” beruntung surat sampai di kala Arjuna selesai tugas jaga pagi.
Ternyata buka hanya amplopnya yang bagus, kertas suratnya pun bagus dan wangi. Arjuna kembali seperti zaman SMP di saat masih saling berkirim surat demi cinta monyet. Kali ini terulang kembali bahkan adegan mencium aroma kertas surat juga.
Arjuna bahkan mengemudikan mobilnya kencang karena ingin segera sampai di kamarnya dan membaca surat pertamanya dengan suka cita. Dilemparkannya tas ransel kesayangannya, hadia ulang tahun ke-25nya dari Frey. Tanpa membuka sepatu, Arjuna langsung membenamkan dirinya di atas kasur empuk membaca surat Frey. Selang berapa menit, segera saja dirinya bangkit dari kasur empuk ketika membaca bagian dimana Frey tidur tanpa empuknya kasur. Arjuna berpindah ke meja kerjanya dan melanjutkan surat yang sedari tadi menawan hatinya, sama seperti hari-hari sebelumnya, dirinya makin tertawan dalam diri Frey.
Arjuna sudah sering menangis bahkan tangisan untuk Frey sudah tidak terhitung lagi berapa kali namun kali ini dia ingin menggenapkan tangisannya. Antara kerinduan, kebanggaan, dan suka cita bercampur baur menjadi satu saat lembar demi lembar surat Frey menemaninya.
Teringat jelas di depannya Frey menuliskan surat tersebut bertemankan lilin. Ingin rasanya Arjuna kabur ke Sumba saat itu juga agar dapat menjawil hidung Frey.
“Dasar miss bookacholic…lo survive juga di sana” tidak jarang Arjuna mulai bicara sendiri seakan Frey ada di hadapannya untuk menceritakan langsung semua kisah Sumbanya.
Dan Arjuna tahu bagaimana membalas surat berlembar-lembar ini. Dia tahu kelemahannya adalah menulis dan jujur dia lebih memilih mati daripada menulis panjang lebar seperti yang dilakukan Frey. Bukan karena tidak ingin membalas, tetapi kebiasaan Arjunalah yang memang berbeda. Dia benar-benar tidak terlalu suka menulis kecuali menulis resep untuk pasiennya dan jelas tidak mungkin surat panjang ini haya dibalas sepatah dua patah kata saja. Menyuruh orang lain menuliskan suratnya jelas akan membuat Frey meradang karena dia hafal mati coretan tangan Arjuna.
***
Frey terkejut melihat paket kardus besar sampai di depan kliniknya. Supirnya kini menjadi orang paling sibuk karena berulang kali mengantarkan pesanan Frey termasuk bila Frey mendapat kiriman paket seperti sekarang ini.
“With love from Arjuna” Frey tertawa nyaring membaca tulisan di sampul pengirimnya.
“Dasar si jabrik. Pede banget nulisnya” dan Frey pun bergegas menarik kardus berat ke dalam kamar.
Klik…klik…klik…kilatan kamera terdengar merdu. Frey mulai terbiasa mengabadikan apapun dengan kameranya termasuk surat yang akan dikirim atau barang kiriman yang dia terima. Perlahan namun pasti, tangan lembut Frey membuka sampul kertas cokelat yang membalut kardus besarnya. Perlahan merobeknya hingga tampak semua isinya yang membuat Frey membuka mulut lebar. Buku-buku pesanannya bulan pertama tiba. Frey nyaris melonjak kegirangan seperti anak kecil yang mendapatkan gula-gula. Bahkan Arjuna masih menambahkan beberapa buku best seller dan Koran ternama kesukaan Frey yang memuat berita headline agar Frey tidak tertinggal berita.
Puas membongkar semua buku, kini mata Frey penasaran dengan satu kotak kecil yang tersembul dari buntalan kertas-kertas. Segera Frey buka dan ternyata tape recorder mini yang tersembul.
“Push here Frey” Dan Frey menekan tombolnya.
“Dasar TOMAATT!!!” Suara sopran milik Arjuna langsung terdengar memekik dan Frey otomatis menjauhkan alat rekam itu dari telinganya. Frey ingat itu julukan lamanya ketika setiap kali bertemu Arjuna mukanya selalu memerah seperti tomat dan memang selalu saja jus tomat yang dipesan jika keduanya makan bersama.
Tidak terdengar suara lagi sejenak, sepertinya Arjuna memang sengaja memberi jeda karena tarikan napasnya terdengar lembut, nyaris menyentuh kulit putih Frey.
“Pertama: Lo mau ngebunuh gw ya dengan surat lo yang super panjang itu? Lo tau sendiri Frey kalau gw paling gak bisa nulis panjang. Kan lo saksi mata gimana gw dulu terpaksa bayar orang untuk ngerjain tugas-tugas gw yang berhubungan dengan laporan wajib tulis tangan. Tapi, hebatnya dari surat lo, otak gw kepikiran ide ide rekaman ini” suara Arjuna masih berpura-pura membentak dan membuat Frey mati tertawa.
“Kedua: Kenapa mesti dikirim ke alamat RS seeeh??? Ohh…gw ngerti…lo memang gak pengen cuma gw aja kan yang tetap tenar di RS setelah lo tinggal, jadi lo bikin trik ngirim surat lewat RS kan” kali ini Frey tertawa hingga keluar air mata, terasa seperti nyata sekali suara-suara lantang Arjuna.
“Ketiga: Gimana kabar lo my sweety?” kali ini Frey mati gaya karena nada suara Arjuna berubah menjadi sangat romantis. Bahkan seingat Frey tidak pernah kalimat sederhana Arjuna teerasa sangat menusuk seperti ini. Mungkin selama ini Frey selalu menganggap semua perkataan Arjuna hanya bercanda saja.
Kali ini di kala dirinya terpisah jarak dan tidak bertatap muka lama, ternyata satu kalimat lembut Arjuna mampu membuat Frey jatuh terjerembah dalam jurang bernama jatuh cinta.
“Harusnya gw di sana buat mijetin tangan lo yang pastinya udah hancur karena terus-terusan timba air. Eit…jangan marah duluan dong. Iyaaaah gw ngerti harusnya gw disana bantuin lo timba air yah tapi Frey seumur hidup gw belum pernah lihat alat timba, gw ngertinya alat jungkat jungkit doang zaman TK. Gw mending bayar penduduk sana yang kuat aja deh buat bantuin lo timba air setiap hari. Kalo lo gak sibuk timba kan artinya kita punya waktu lebih banyak untuk santai di pantai. Eit…kan pasien lo tetep banyak yah. Frey…Frey.,..emang ya, berlian tetap aja berlian. Mau di kota gedhe kek ampe di pedalaman sekali pun tetap aja berlian, selalu dicari orang. That is you sweety. Kalau dipasang tulisan jam kerja gitu ngaruh gak ya buat pasien-pasien lo. Hmm….tapi mereka bisa baca tulisannya kagak ya Frey. Hadoh…gimana yah solusinya. Kayaknya Frey yang gw kenal lembut mesti sedikit galak deh biar pasien lo lebih disiplin. Pasang aja jam kerja lo dan kalau memang mereka datang sebelum waktunya yah terpaksa lo biarin aja kecuali kalau memang cito banget. Gimana ide gw Frey? Eh lo gak bisa langsung jawab yah. Tapi gw lihat kok lo angguk-angguk kepala” Frey segera menghentikan anggukannya. Arjuna memang cerdas dan idenya cemerlang menurut Frey. Dia bahkan tidak terpikirkan untuk mencari solusi itu karena terlalu lelahnya.
“Busyet dah Frey, kayaknya habis ini gw bakalan daftar jadi pasien pertamanya si Nadia deh. Bayangin aja mana ada orang yang lebih gila dari gw. Ngomong sendirian ama alat perekam selama berjam-jam biar kagak ada putri cantik yang ngambek di Sumba sana. Gw jamin Nadia bakal guling-guling ngakak dan ikutan stress lihat kita sekarang Frey. Benar-benar gila gw sekarang. Apa gw mending ngrayu supervisor lo aja ja biar lo bisa dapat libur ke kota dan ngejawab semua omongan gw ini secara langsung. Atau perlu gw bangun menara sinyal di pedalaman lo Frey. Ups…gw lupa, lo aja masih belum kesentuh listrik ya, percuma juga bangun menara sinyal karena telepon lo juga gak bisa dicas kalau baterainya habis” Frey tertawa terbahak. Dirinya pun tidak pernah membayangkan akan hidup di tempat terpencil seperti ini. Namun Frey bersyukur bahwa dia tidak harus menempuh perjalanan dengan kapal laut untuk mencapai pulau ini. Nyaris saja dia ditempatkan di pulau yang lebih terpencil lagi dari tempatnya sekarang. Hanya dapat ditempuh oleh kapal laut ukuran sedang yang jam berlayarnya jelas tergantung cuaca dan artinya boleh jadi ada kapal berlayar sekali saja dalam seminggu, itu pun selama 5 jam perjalanan dari tempatnya berdiri sekarang.
“Gw bisa bayangin lo di sana keren banget Frey. Berhasil hecting robekan kepala yang besar dengan jahitan sesempurna lo di ruang operasi kita, padahal…lo cuma pakai senter. Gw bisa bayangin lo pasti kesel banget kalau orang yang lo suruh pegang senter itu salah ngarahin cahayanya. Emosi tingkat tinggi tuh. Gilaaaa….lo emang gila Frey! Sekali mencintai pisau bedah maka tetap aja lo mau lari sampai pedalaman pun dikejar ama tuh pisau. Ups…gw lupa lo cuma pakai silet yang disteril alkohol yah. Gila…setajam SILET” Arjuna mempraktekkan slogan gosip terkenal di salah satu stasiun televisi. Ah bahkan Frey tidak ingat sudah berapa lama dia tidak pernah melihat televisi. Jangankan menontonnya, melihat rupanya saja tidak pernah kecuali saat berkunjung ke rumah bapak desa yang sudah terjamah listrik. Itu pun masih dibantu dengan parabola sebagai penangkap sinyalnya. Aneh memang, rumah bapak desa tempatnya bertugas berada di bibir jalan yang masih ditumbuhi tiang-tiang listrik subur. Bahkan jika listrik mengalami pemadaman sekali pun, sudah tersedia generator sebagai pembagkit tenaga listriknya. Genset, begitu mereka menyebutnya. Berbeda dengan rumah penduduk desa lainnya dan juga tempat Frey tinggal. Dia masih beruntung disediakan kaca sinar yang setiap siang harus dijemur agar dapat menyerap sinar matahari dan mengubahnya menjadi arus listrik di kala malam tiba. Walau terkadang lampu mataharinya hanya menyala beberapa jam saja sebelum akhirnya benar-benar mati menjelang tengah malam. Frey tertawa, banyak hal yang berbeda dari apa yang dijanjikan ternyata namun inilah hidup, tidak semua yang kamu inginkan langsung dikabulkan oleh Tuhan. Dia memberi apa yang memang kamu butuhkan dahulu, bukan apa yang kamu inginkan.
“Oh ya Frey, surat mungil lo untuk mama udah gw sampaiin. Bener dugaan lo, baru surat satu lembar aja mama udah mewek nangis mulu di depan gw. Oh ya, tugas mulia dari lo udah gw kerjakan dengan sempurna. Bahkan dosen yang buta huruf sekali pun harusnya bakalan ngasih nilai A plus karena kesempurnaan tugas gw. Ups…soalnya berita sekarang lagi ramai tentang jual beli ijazah Frey. Bahkan parahnya ada juga dokter-dokter dengan ijazah palsu bertebaran praktek. Serem banget yaah. Kita aja ampe ngos-ngosan belajar bertahun-tahun eh masih ada orang yang tega gak bertanggung jawab. Kalau dari awal aja udah curang gimana saat dia jadi dokter yah. Gimana ilmu dan tanggung jawabnya tuh. Ah…tuh kan Frey…kalau ama lo obrolan gw jadi sering melebar kemana-mana. Lo terlalu pintar untuk gak ngikutin semua perkembangan berita. Gw jamin pasti tuh koran dengan headline-headline khusus gak lama lagi habis lo lahap. Sampai gw inget lo pernah baca lowongan iklan di koran karena saking semua bagiannya udah lo baca dan gak ada lagi bagian lain” Frey tertawa. Dia memang sering melakukan hal konyol di depan Arjuna.
Menunggu ujian zaman perkuliahan di kedokteran dahulu bukan hal yang mudah karena menunggu artinya adalah benar-benar menunggu para konsulen selesai dari rutinitas wajib mereka dan melirikkan matanya melihat bahwa ada para calon dokter yang berjam-jam menunggu hanya untuk ditanyai beberapa pertanyaan. Hitungan jam masih bagus, ada kalanya menunggu benar-benar menguras kesabaran karena artinya kamu akan mengikuti kemana pun konsulen pengujimu pergi hanya untuk (lagi-lagi) dilirik dan konsulenmu pun ingat bahwa kamu membutuhkan ujian itu untuk lulus menjadi dokter. Terkadang bukan satu atau dua jam melainkan berhari-hari. Bahkan ketika suah detik-detik menghadap untuk diuji sekali pun dapat dibatalkan bila sang konsulen harus menangani pasien. Memang, pasien adalah yang utama dari semua termasuk menguji seorang calon dokter sekali pun. Sedari kuliah hingga praktek di rumah sakit selalu saja diajarkan mental untuk bersabar.
Jika sudah jenuh menunggu maka banyak hal konyol terjadi. Buku-buku tebal yang semalaman dibaca bahkan tidak jarang dirangkum menjadi buku-buku kecil yang tetap saja tebal mulai ditutup. Lalu dibuka lagi jika sepertinya aka nada panggilan dari sang konsulen. Aneh memang para calon dokter itu. Mereka sudah belajar setiap hari dengan melihat dan bersentuhan langsung dengan para pasien namun tetap saja ketika ujian tiba maka setumpukan teori harus mereka baca kembali dan sepertinya tidak pernah habis. Bahkan semakin banyak membaca semakin lupa sehingga beberapa di antaranya memilih untuk tidak membaca agar tidak lupa. Frey termasuk salah satu keanehan juga. Dia tipe pembelajar yang terlalu percaya diri bahwa apa yang selama ini sudah dipelajari bersama pasien-pasiennya dulu adalah waktu yang terbaik untuk mencocokkan teori dengan kenyataan. Dia merasa saat itulah dia sudah belajar dan ketika ujian dia hanya perlu berdiam diri di kamar merenungi pasien apa saja yang pernah ditemui dan ditanganinya. Hanya merenung sembari tangannya bergerak mencatat apa yang ada dalam zona perenungannya. Ketika teman-teman lainnya menggelar acara belajar bersama sampai subuh, Frey malah terlihat bersantai. Gilanya lagi, ketika teman-temannya masih berulang kali membuka buku, dia malah membaca koran.
“Busyet lo Frey…orang lain belajar lo malah baca koran” Arjuna hanya mengamati tingkah konyol Frey sementara teman lainnya yang masih sibuk dengan hafalan mereka seperti tidak ingin diganggu.
“Eh lihat deh Jun, seorang janda berumur 42 tahun dengan dua anak dan hidup berpenghasilan 20 juta/bulan mencari seorang laki-laki yang bersedia membahagiakannya, boleh perjaka atau duda” sontak mau tidak mau teman-teman yang masih sibuk membaca pelajaran menutup bukunya dan merespon kalimat Frey.
“Wah boleh juga tuh. Ntar duit bulanan dia dipakai untuk cari wanita lain yang kagak janda” Roy temannya yang hobi silingkuh menimpali.
“Eh tapi kalau si janda ini umur 42 tahun berarti masa menopausenya masih lumayan lah 10 tahun lagi. Kira-kira kalau dia hamil ama lelaki yang ntar menikahinya, kehamilan dia harus gimana ya. Apa aja yang nantinya jadi penyulit kehamilan dia ya” dan pancingan Frey berhasil. Perlahan, jawaban teman-temannya keluar, memadukan teori dengan praktek sehari-hari. Frey hanya sesekali menimpali dan lebih banyak mendengar teori dari teman-temannya yang menurut Frey sudah belajar lebih keras dari Frey. Begitulah caranya belajar, dia lebih senang berdiskusi dan mendengarkan. Kegiatan menunggu konsulen penguji obsetrik dan ginekologi pun tidak terlalu membosankan.
“Frey…lihat koran lo. Penasaran gw ama iklannya” Arjuna mengambil koran di tangan Frey ketika ujian telah selesai. Frey hanya tertawa.
“Jun lo tau gw. Mana ada koran nasional dengan berita perpolitikan yang makin memanas memuat iklan begitu. Gw stress aja lihat orang-orang belajar kayak kesetanan gitu. Belajar itu harus dinikmati, gak boleh penuh tekanan. Nyatanya, teori mereka akhirnya keluarkan kalau langsung kita aplikasikan ke kehidupan sehari-hari.
“Yeh…gw udah curiga ini pasti akal-akalan lo aja”
“Lo tau gak tadi di dalam gw ditanya apa ama penguji. Pertanyaan keseharian banget yang sederhana kalau gw pikir tapi gw ngejawabnya bisa ampe nguras semua isi kepala tentang 3 bulan pembelajaran ilmu kandungan”
“Lo dapat kasus apa memangnya?
“Prolaps Uteri. Prof Yan nanya ke gw bahkan berpura-pura menjadi pasien di depan gw. Seorang ibu dari kalangan tidak terpelajar datang dirujuk bidan ke puskesmas gw setelah melahirkan ditolong bidan sehari yang lalu. Dia datang memegang perutnya dan mengatakan ada yang keluar. Dari cir-cirnya gw tau itu prolaps uteri tapi Prof kemudian tanya kalau si ibu takut ama tindakan yang sudah gw jelasin sebagai penangannya. Dari hanya sekadar prolaps uteri bisa nyampe ke proses SC dan kontrasepsi karena ternyata tuh ibu usianya 42 tahun. Teori-teori yang baru aja kita bahas ampe infertilitas ternyata yang ditanyakan. Ketika Prof Yan tanya sesuatu yang gw tahu dan gw pelajari akhirnya gw bisa jawab dengan penalaran gw. Beruntung banget kayaknya gw”
“Bener banget tuh Frey. Apa yang kita bahas di detik-detik terakhir lantaran iklan gombal lo itu ternyata gak jauh beda ama pertanyaan dari Prof Edi. Belajar banyak tapi dapat kasus yang pas gak lo baca kayaknya lebih merana deh daripada kita yang cuma belajar sambil dengerin tapi ternyata itu yang ditanyakan”
Bagaimana Frey dapat melupakan hari-hari pertama melewati stase kandungan bersama Arjuna itu karena setelah itu banyak yang memilih belajar bersama Frey, sederhana tapi masuk ilmunya. Padahal sebenarnya Frey yang memanfaatkan mereka karena memang Frey bukan tipe pembelajar yang harus selalu melihat buku selama 24 jam. Dia lebih belajar dari pengalaman. Ketika dia mendapatkan kasus kelahiran bayi sungsang di rumah sakit maka dia akan pelajari sampai detail kenapa si bayi sungsang bahkan sampai hal detail yang terlewatkan oleh teman-temannya. Bagaimana cara bayi sungsang bernafas dan segala hal yang terkadang membuatnya terus membuka lebar mulutnya karena dia mencari hubungan segala hal dengan keberadaan Tuhan. Apakah yang selama ini terjadi dalam proses penciptaan bayi itu memang merupakan komunikasi pertama manusia pada Tuhan? Dan Frey tahu dia masih terus mencari jawabannya hingga sekarang.
“Frey…lo gak lagi memutar semua memori iklan si janda di stase kandungan kan” suara lembut Arjuna menyadarkan lamunan Frey. Arjuna memang selalu dapat menebak kemana arah pikiran Frey walaupun Arjuna lebih banyak memancing Frey. Celetukan ringannya terkadang yang membuat Frey berpikir kritis dan akhirnya belajar banyak lagi. Jika sudah begitu, Frey akan mengemukakan analisis panjang dari celetukan ringan saja.
“Sebulan ini gw gak terlalu intens sebenarnya nengokin mama karena ternyata mama sekarang lebih sibuk Frey. Hmm…menurut gw sepertinya memang mencari kesibukan lebih biar gak kangen ama anak-anaknya. Tapi yang lucu malah sekarang gw kayak bodyguard pribadi mama. Bahkan kalau pas lagi gak ada jaga RS, gw nemenin mama ikut arisan. Seumur-umur gw aja selalu kabur kalau nyokap gw bikin arisan di rumah karena ogah jadi bahan pembicaraan alias jadi bintang. Nah ini…malah gw hanyut dalam rutinitas mama lo. Ternyata arisan seru juga ya Frey. Kayaknya semua skandal keluarga bisa terungkap tuh di arisan. Kocokannya cuma lima menit tapi rumpinya bisa tiga jam. Tapi karena kemaren gw datang untuk yang pertama kalinya, mereka malah jadi banyak curhat masalah kesehatan termasuk tip membuat si suami tetap setia. Wadoh…gw nyaris tepok jidat Frey. Jadilah arisan itu konsultasi kesehatan live show gw. Tiga jam bo meladeni semua pertanyaan aneh para ibu tentang. Kata mereka gw suruh lanjut jadi dokter kandungan aja karena gaya gw ngejelasin penyakit enak banget. Dan akhirnya gw disuruh sering-sering mampir kalau ada arisan bulanan lagi” Frey tertawa terbahak membayangkan Arjuna si tampan dikelilingi para ibu pejabat yang kalau dandan malah bikin suaminya takut.
“Terus Frey…gw juga nemenin mama belanja, bukan di swalayan tapi di pasar tradisional. Kebayang gak seeehh…seumur-umur kan gw cuma pernah nemenin lo belanja waktu pengen bikin kejutan ultahnya si Nadia. Tapi karena ini tugas mulia dari lo maka gw harus menjalaninya. Ternyata seru juga yah belanja ama emak-emak. Semua harga sayuran yang menurut gw udah murah ternyata masih ditawar juga. Sekarang gw ngerti bakat nawar lo itu ternyata nurun dari mana” Frey menangis karena terlalu banyak tertawa. Dia ingat memang saat itu dia menawar semua hal di pasar tradisional. Rasanya puas aja kalau dapat menawar harga walau hanya turun seribu rupiah dan kalau dipikir-pikir bukan masalah besar bagi Frey.
“Sebenernya gw yang harus makasih ke lo Frey. Selama ini gw terlalu sibuk gak pernah care ama nyokap gw sendiri dan ketika gw didaulat untuk sering nemenin mama, gw jadi tahu bagaimana harus membahagiakan nyokap gw. Selama ini gw salah kalau hanya menilai segalanya dari materi padahal bego banget kalau apa yang gw kasih ke nyokap gw udah ngebalikin semua yang dia kasih ke gw. Thanks ya sweety…lo bikin hidup gw lebih manis di sini. Saat lo balik nanti, gw siap jadi suami…eh maksud gw, gw tahu bagaimana kehidupan pernikahan itu nantinya” Arjuna meralat kalimat terakhirnya agar Frey tidak tersinggung padahal jauh di ujung sana kembali muncul wajah si tomat, memerah.
“Tentang papa lo, dia masih tetap aja sibuk Frey. Lo tau sendiri urusan RS banyak yang gak bisa ditinggal jadi seringkali papa lo turun langsung ngurus detailnya. Kemarin gw diajak ngomong pribadi ama papa. Dia minta gw resign dari RSUD dan bantu papa di RSnya. Wah…melayang rasanya gw”
“Ambil aja kesempatannya Jabrik…” Frey ikutan mengomentari jeda cerita Arjuna.
“Gw masih minta waktu untuk mempertimbangkan tawaran papa lo Frey. Gak mudah ninggalin RS kita kecuali gw kaburnya untuk alasan seperti lo. Mungkin baru akhir tahun gw bisa bantu papa lo. Sementara malah gw rekomendasiin temen kita si summacumlaude Sigit. Masih inget kan lo ama temen kita yang otaknya kamus berjalan itu. Gw masih penasaran tuh anak makannya apa yah bisa pinter kongenital gitu. Tapi menurut gw lebih pinter lo Frey…pintar memanfaatkan kondisi. Papa lo kayaknya sedikit kecewa dah karena lo lebih memilih RS lain dan sekarang malah kabur ke pedalaman. Iya Frey…gw ngerti gak gampang berdiri di kaki lo sendiri dan gak selalu dipandang dari anak siapa lo itu” Frey termenung mengingat kembali perselisihan kecil dengan papanya dua tahun silam saat dirinya memutuskan untuk bekerja di RSUD dan bukan di RS miliknya sendiri. Berdiri di kaki sendiri tanpa bayangan orang tua memang bukan hal mudah. Di luar sana orang mengira hidupnya sebagai anak pemilik RS akan mudah namun Frey sudah memutuskan dari awal untuk menjauhkan bayangan papanya. Dia ingin menjalani proses tanpa adanya campur tangan di bawah meja walau jujur sampai sekarang Frey tidak mengerti apakah diterimanya di RSUD masih ada campur tangan papanya. Maklum Direktur yang sekarang ternyata teman lama papa Frey. Tapi Frey menyangkal karena dia memang menjalani semua prosesnya termasuk ketika fit and properties dalam ujian wawancara. Frey tidak ingin orang menganggap dirinya masuk dengan mudah hanya karena dia “titipan” papanya. Beberapa teman dokternya ada yang seperti itu juga dimana dia tinggal masuk saja hanya berbekal sebuah surat tanpa melewati semua prosedur di atas. Frey ingin terbang bebas dan kali ini keputusannya untuk pergi jauh ke pedalaman memang salah satu cara membuktikan ke papa kalau Frey sanggup berdiri di atas kakinya sendiri.
Frey larut dalam kenangan masa lalunya, lama tidak terdengar suara Arjuna ternyata kaset side A sudah selesai berputar dan harus diganti side berikutnya.
“Frey ambil gitar lo. Kita nyanyi bareng lagu favorit kita ya” dan Frey langsung meraih gitarnya, membenambkan jemarinya dan memetik indah senarnya. Keduanya menyanyi bersama dalam tempat dan waktu yang berbeda tapi Frey sudah tidak terlalu perduli, dentingan senar menghasilkan lagu duet Two Occasion yang indah. Seindah matahari yang mulai terbenam dan artinya tidak lama lagi Frey harus mempersiapkan lilin khususnya.
“Cause every time I close my eyes, I think of you” Frey tahu Arjuna paling suka bagian ini dan setiap kali dia menyanyikannya di hadapan Frey selalu saja dengan mata berbinar. Kali ini Frey yakin dia dapat melihat mata itu lebih berbinar, cinta itu masih tetap besar seperti puluhan kali Arjuna menembaknya hingga akhirnya dia memilih untuk berdamai dengan keadaan dan menjadi sahabat Frey terbaik yang pernah Frey punya setelah Nadia.
“Hmm…gak ada yang gedorin pintu kamar lo kan Frey karena denger suara lo. Gw bercanda, paling kalau ada juga mereka gedor Cuma buat bilang lagi-lagi-lagi-lagi. Kan suara lo emang bagus Frey apalagi petikan gitar lo. Kalah deh gw. Eh tapi kalau lo balik, dentingan gitar gw lebih jago kayaknya. Gw jadi mau ambil kursus jazz, itu kalau jadwal gw nemenin nyokap gw, mama lo dan jaga RS masih sedikit berdamai ya. Suasana di RS sedikit kacau Frey atau gw yang kurang bersemangat setelah lo pergi ya. Waktu dulu lo masih ada kan gw punya alasan untuk datang tiap hari ke RS. Minimal kalau gw lagi gak jam jaga kan gw bantuin lo jaga. Ups…gangguin lo lebih tepatnya. Sekarang mah gw lebih sering minta tukeran jaga kalau ketiban shift pagi atau sore biar gw lebih banyak waktu untuk nemenin orang-orang tercinta gw. Gak lama setelah lo pergi, satu persatu dokternya juga pergi Frey. Adi resign karena dia keterima PPDS Bedah Saraf. Gila tuh partner lo, semangat banget dan pantang menyerah demi bedah saraf. Padahal lo tau sendiri pertanyaan paling sulit dari konsulen bedah saraf pas ujian wawancara”
“Apa kamu sudah siap menghadapi kematian pasien yang nantinya kamu operasi?” Arjuna menirukan salah satu suara konsulen bedah saraf dengan berwibawa.
“Dan Adi bikin jawaban yang mantap. Bahkan 7 hari 7 malam masih kurang deh buat dengerin setiap detik berharga yang dia lalui sampai akhirnya keterima di bedah saraf” Frey tersenyum, akhirnya berhasil juga Adi meraih mimpinya. Dia benar-benar sedang menjalani proses panjang menjadi dokter spesialis bedah saraf.
“Ups…lo gak boleh mupeng ya Frey. Gw tau satu-satunya yang bikin lo sangat bersemangat memang pisau bedah tapi gw gak pengen tiba-tiba lo kabur dari sana Cuma karena pengen nyusul Adi ke bedah saraf. Lo tiba-tiba ngacir ngurusin malaria aja udah bikin gw kehilangan apalagi kalau lo ambil yang berbau pisau, lo bakal gak punya waktu untuk nulis surat. Atau jangan-jangan lo udah jatuh cinta ama Anopheles yah. Hati-hati Frey, kan yang gigit lo Anopheles betina tuh jadi gw gak yakin orientasi cinta lo udah berubah. Bisa repot ntar Mas Bambang” kalimat Arjuna membuat Frey merindukan saat-saatnya di rumah sakit dan membantu para konsulen di meja operasi. Baginya tidak masalah berdiri berjam-jam hanya menjadi asisten operator saja. Menyenangkan sekali rasanya ikut ambil bagian dalam menyelamatkan nyawa seseorang yang hanya bergantung pada ketelitian sang pemegang scalple.
“Eh dua hari sebelum surat ungu lo nyampe sebenarnya gw super lemes Frey. Gw kebanjiran pasien malam ampe gak tidur sedetik pun. Semuanya pasien tua dengan komplikasi jantung dan ini rekor gw ngelakuin RJP 5 pasien dalam satu malam. Tiga selamat dan masuk ICU sementara yang dua terpaksa gw kirim ke ruangan belakang” Frey tahu yang dimaksud ruang belakang adalah kamar mayat. Para dokter sering menggunakan banyak istilah agar lebih sopan dan tidak terdengar menyeramkan.
“Bahkan gw masih ingat anak si pasien narik tangan gw kenceng banget pas gw mau mulai RJP. Dia gak mau dada bapaknya ditekan-tekan kayak yang dia lihat di film-film mungkin Frey. Gw udah jelasin prosedur penyelamatan yang memang begitu tapi tuh anak kayaknya gak ngerti juga. Untung aja ibunya pengertian dan tuh anak ditarik keluar. Menghambat aja tuh anak padahal satu detik berharga banget untuk menyelematkan bapaknya. Walau kita gak pernah tahu pertolongan kita masih dapat membuat malaikat menghentikan tugas pencabutan nyawanya, kita tetap harus melakukan itu” Frey mendengus, tidak mudah memang menyakinkan keluarga pasien akan tindakan yang akan kita lakukan. Terkadang banyak dokter gagal dalam masalah komunikasi dan dengan mudahnya keluarga pasien melontarkan kata-kata malpraktek tanpa mereka tahu apa esensi dari yang mereka katakan.
“Kita tahu sendiri gimana susahnya pacu jantung. Mereka kira gampang kali yah hanya nekan-nekan dada dengan dua tangan yang ditumpuk aja. Padahal tiap tekanannya kita hitung kedalaman dan kecepatannya bahkan jumlahnya. Lebih gila lagi tiap satu tekanan otak kita akan berpikir apalagi yang harus disipakan kalau tekanannya masih belum membuat jantung berdetak bagus. Yah kalau bagus pasien cuma butuh 30 kali dan stabil tapi kan kadang lebih belum lagi ditambah berbagai obat-obatan suntik. Untung rekaman jatungnya gak nyampe harus defibrilasi. Akhirnya tuh pasien selamat Frey setelah badan gw banjir keringat. Ini lebih cepat ngluarin keringat dibandingkan fitness gw. Belum ada setengah jam kelar urusan tuh pasien yang akhirnya gw rujuk ke anestesi, datang lagi pasien yang serupa tapi tak sama. RJP lagi. Rasanya gw pengen teriak manggil nama lo biar lo bantuin gw. Kayaknya gw lupa baca doa deh biar IGD aman. Beruntung besok paginya gw gak ketiban rolling di poli jadi bisa tepar seharian” Frey cuma angguk-angguk aja. Tidak ada dokter yang ingin pasiennya datang dalam kondisi jelek bahkan memerlukan RJP tapi jika sudah ada pasien seperti itu harus sekuat jiwa dan tenaga berusaha memberikan pertolongan maksimal.
“Eh Frey…udah dulu ya sweety. Gw dah laporan semua perkembangan dunia luar ke lo. Ntar kalo lo ke kota dan dapat sinyal jangan lupa langsung hubungi mama papa yah. Mereka kangen berat ke lo sama kayak gw. Kalau masih pakai metode komunikasi kayak gini gw gak yakin deh kita berdua bakal lolos jadi pasien jiwa si Nadia deh. Lo udah segeran lagi kan. Kalau disana ada yang bikin lo kesel, nyalain aja I-Pod yang dulu pernah gw kasih. Semua banyolan kita ada di sana” Frey nyaris lupa dia masih punya i-Pod pemberian Arjuna. Selama ini dia terlalu sibuk hingga lupa menyalakannya.
“Gw pengennya sih ngrekam suara gw mulu Frey tapi neh kaset udah nyampe putaran terakhir deh. Sebagai penutup, gw nyanyiin lagu special buat lo ya. Kali ini biar gw yang iringin gitarnya sendiri. Bentar gw ambil gitar dulu” dan terdengar suara langkah Arjuna sedikit berlari mencomot gitar di lemarinnya.
“Lagu lama Bee Gees yang bikin lo pengen cepatan pulang pastinya buat nyanyi bareng gw disni. Eh..salam dari Mang Ayun buat lo Frey. Kan lo pelanggan malam favoritnya. Dia udah mulai ganti lagu bukan india tuh, tapi dangdut” keduanya tertawa membayangkan mie nyemek Pelangi sekarang berubah cita rasa dangdut, sepertinya akan semakin bergoyang lidah para pelanggannya.
“Salam juga tuh dari Tade. Dia nanyain kapan lo balik nongkrong di kafenya. Salam juga dari Mang Amin tuh karena mobil lo kagak pernah keliatan lagi di parkiran. Gw heran ya Frey, jelas-jelas lo dah pamitan ama mereka semua tapi tetep aja dikiranya lo masih di sini Frey. Busyet dah…royalti gw harus ditambah neh karena gw merangkap jadi pengirim salam-salaman juga. Eh lupa, kasih tau FM lo berapa yah yang bisa nyangkut disana biar ntar gw pantengin radio juga dari sini. Balik ke zaman purba” dan lagu How Deep is Your Love menutup rekaman dengan indah. Frey tahu, ada bunga-bunga bertebaran di hatinya kini. Rasanya ini sama seperti dia pertama kali bertemu Reza. Frey memejamkan kedua matanya lembut, menikmati dentingan gitar Arjuna namun jujur pikirannya melayang mencari dimana Reza sekarang.
“Gw tahu ini saatnya gw jatuh cinta lagi Rez. Lo bisa pergi sejenak kan dari pikiran gw. Gw gak akan pernah melupakan semua kebersamaan indah kita Rez cuma gw ingin gak hanya menghabiskan waktu memikirkan keberadaan lo. Lo mau kan kasih gw kesempatan?” Frey berdamai dengan alamnya sendiri. Sepertinya Frey sudah lebih siap menjalankan tugasnya lagi, menikmati sisa harinya yang masih 10 bulan.
***